Jakarta (ANTARA) - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) meminta pemerintah untuk melindungi perempuan korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO), mengingat masih adanya praktik kriminalisasi terhadap korban TPPO.
"Kriminalisasi terhadap korban perdagangan orang adalah bentuk kekerasan lanjutan. Banyak perempuan korban justru dipermasalahkan dokumennya, dideportasi, dikriminalisasi akibat situasi eksploitasi yang dialaminya. Negara harus menjadi pelindung," kata Anggota Komnas Perempuan Devi Rahayu saat dihubungi di Jakarta, Selasa.
Baca juga: Hari Anti-TPPO, SBMI desak pemerintah berantas perdagangan orang
Devi Rahayu mengingatkan prinsip non-pemidanaan terhadap korban TPPO (The Principle of Non-Punishment of Victims of Trafficking in Persons) yang tertera dalam berbagai instrumen HAM internasional, termasuk Konvensi ASEAN, menegaskan bahwa negara wajib melindungi korban.
Komnas Perempuan juga meminta pemerintah untuk mencegah TPPO melalui regulasi pasar kerja, perlindungan sosial, pendidikan, literasi digital, serta menjamin pemulihan yang bermartabat tanpa diskriminasi, termasuk bagi korban yang tidak berdokumen.
"Pendekatan penanganan TPPO harus berbasis pengalaman korban, partisipatif, serta tidak hanya fokus pada penindakan pelaku," tuturnya.
Komnas Perempuan juga mendorong pemulihan korban harus menekankan pada pemenuhan hak-hak korban secara komprehensif.
Baca juga: Anggota DPR: Revisi UU TPPO diperlukan guna pastikan pendekatan korban
Baca juga: Romo Paschal: Pemberantasan TPPO butuh keseriusan bersama
Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2020 - 2024 mencatat sedikitnya ada 267 kasus TPPO yang melibatkan perempuan sebagai korban, mencakup berbagai bentuk eksploitasi, seperti kerja paksa, eksploitasi seksual, penjualan organ, pengantin pesanan, hingga perekrutan sebagai kurir narkotika lintas negara.
Dalam dua tahun terakhir, muncul modus baru yang memanfaatkan teknologi digital, seperti pemaksaan menjadi operator judi daring dan pelaku penipuan online (scammer).
Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.