KOMISI Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM mengakui masih ada kendala dalam proses penyelidikan proyustisia dugaan pelanggaran HAM berat dalam kematian aktivis Munir Said Thalib. Ketua Komnas HAM Anis Hidayah menyebut salah satu yang menjadi hambatan penyelidikan adalah kesulitan memanggil saksi-saksi.
Sebab, pembunuhan Munir terjadi lebih dari dua dekade lalu. “Saat ini, tim penyelidik masih dihadapkan pada sejumlah tantangan dalam proses menghadirkan para saksi untuk dimintai keterangannya,” kata Anis melalui keterangan tertulis, Ahad, 7 September 2025.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Adapun tim ad hoc Komnas HAM melaksanakan penyelidikan proyustisia dugaan pelanggaran HAM berat dalam kematian Munir sesuai mandat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Tim penyelidik telah melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi.
“Hingga saat ini terdapat 18 orang saksi yang telah diperiksa,” kata Anis. Pemeriksaan saksi-saksi itu, menurut Anis, terdiri dari sejumlah klasterisasi.
Sebagai tindak lanjut dari proses penyelidikan, Anis menegaskan masih akan melakukan sejumlah tahapan penyelidikan. Beberapa tahap tersebut antara lain menelusuri bukti dokumen lainnya yang relevan berkaitan dengan peristiwa pembunuhan Munir Said Thalib dan serangan terhadap human rights defender atau HRD; melakukan pemeriksaan lanjutan terhadap saksi-saksi yang terdiri dari sejumlah klasterisasi; serta melakukan koordinasi lanjutan dengan sejumlah instansi berwenang dalam rangka percepatan proses penyelidikan. Kemudian, Komnas HAM akan berkoordinasi dengan penyidik Kejaksaan Agung dan merampungkan laporan hasil penyelidikan.
Selama hidupnya, Munir Said Thalib banyak memperjuangkan hak buruh, aktivis mahasiswa, pemuda, dan kelompok masyarakat tertindas lainnya. Sebagai anggota Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Munir aktif mengikuti aksi-aksi menuntut keadilan dan melawan ketidakadilan, terutama di era Orde Baru.
Namun perjuangan Munir terhenti ketika ia dibunuh di langit Rumania. Aktivis HAM itu meninggal saat berada dalam penerbangan pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA-974 menuju Belanda pada 7 September 2004 untuk melanjutkan studinya di Universitas Utrecht, Amsterdam.
Munir tewas dua jam sebelum pesawat mendarat di Bandara Schipol pukul 08.10 waktu setempat. Hasil autopsi kepolisian Belanda dan Indonesia menyimpulkan dia tewas karena racun arsenik. Hasil penyelidikan saat itu mendapati bahwa pelaku pembunuhan adalah pilot Garuda Indonesia, Pollycarpus Budihari Priyanto.
Polly sempat divonis hukuman 20 tahun penjara, namun ia dibebaskan pada 2018 setelah memperoleh beberapa kali remisi. Dua tahun berselang, Pollycarpus meninggal karena Covid-19. Kendati begitu, kematian advokat yang lantang membela para buruh ini masih menyisakan tanda tanya.
Kasus Munir ditengarai tidak hanya melibatkan Pollycarpus sebagai pelaku lapangan. Deputi V Badan Intelijen Negara saat itu, Muchdi Purwopranjono, sempat menjadi terdakwa pembunuhan Munir. Tetapi majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membebaskannya dari segala dakwaan pada 31 Desember 2008.
Aktivis HAM menduga pembunuhan Munir dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan melibatkan beberapa figur yang memiliki kedudukan tinggi di negara ini.
Di sisi lain, hingga 21 tahun berlalu, laporan Tim Pencari Fakta (TPF) pembunuhan Munir yang dibentuk Presiden Bambang Susilo Bambang Yudhoyono pun tak pernah dipublikasikan. Teranyar, ketika para aktivis HAM menagih laporan itu kepada Presiden Joko Widodo 2017 lalu, dokumen tersebut dinyatakan hilang.