
Kementerian Pertanian (Kementan) menetapkan harga pokok produksi (HPP) ayam hidup di tingkat peternak sebesar Rp 18.000 per kilogram (kg). Kebijakan ini akan mulai berlaku pada Kamis, 19 Juni 2025, menyusul anjloknya harga ayam dalam dua pekan terakhir.
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, Agung Suganda, mengungkapkan bahwa harga ayam hidup di tingkat peternak saat ini bervariasi dan telah turun hingga menyentuh angka Rp 14.500 per kg secara keseluruhan, dari sebelumnya yang sempat disepakati pelaku usaha sebesar Rp 17.500 per kg sebagai HPP.
“Tadi sudah disepakati dari mulai integrator besar, kemudian pelaku usaha menengah dan kecil, (HPP) di angka Rp 18.000 dan ini berlaku mulai besok (Kamis, 19 Mei 2025). Harga yang tadi sudah dibahas bersama oleh para pelaku usaha dan tentu harga Rp 18.000 ini adalah harga minimal,” ucap Agung dalam konferensi pers di Kantor Kementan, Rabu (18/6).
Meski ditetapkan HPP sebesar Rp 18.000, Agung berharap harga ayam bisa lebih naik secara bertahap menuju harga acuan pembelian (HAP) sesuai Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 6 Tahun 2024, yaitu di Rp 25.000 per kg.
“Tetapi harga Rp 18.000 juga harapannya tidak terus-terusan, tetapi secara bertingkat mendekati pada harga acuan pembelian, di mana harga acuan ayam hidup di tingkat peternak adalah Rp 25.000. Jadi seperti itu,” jelas Agung.
Ia mengungkapkan bahwa harga ayam yang masih berada di bawah HPP masih banyak ditemukan di berbagai daerah, terutama di wilayah Pulau Jawa.
“Jadi (harganya) bervariasi, tetapi umumnya di Pulau Jawa ini semua harga ayamnya, baik Jawa Timur, Jawa Tengah, yang paling parah tentu Jawa Tengah sebagai sentra broiler, kemudian Jawa Barat dan Banten itu di bawah harga pokok produksinya,” tutur Agung.
Adapun Agung menjelaskan bahwa HPP ini tidak ditetapkan melalui surat edaran, melainkan hasil konsensus antar pelaku usaha perunggasan melalui rapat yang telah dilaksanakan.
“Tadi kesepakatan aja bahwa kesepakatan rapat dan untuk membentuk harga HPP itu tentu ada komponen-komponen yang harus dihitung, dan harga komponen ini disesuaikan dengan rata-rata (harga),” jelasnya saat ditemui wartawan usai konferensi pers.
Ia juga membandingkan bahwa HPP antara perusahaan besar seperti PT Charoen Pokphand dan peternak mandiri yang tentu berbeda.
Menurutnya, perusahaan besar memiliki efisiensi lebih tinggi, biaya operasional yang lebih rendah, pakan dan bibit yang lebih murah karena diproduksi sendiri, sementara peternak mandiri harus membeli seluruh kebutuhan dari pemasok.
“Nah ini kita bikin (HPP) di tengah-tengah. Dan sekali lagi, ini konsensus, ini kesepakatan bersama para pelaku, disaksikan pemerintah, dan setelah disepakati, inilah pemerintah juga memutuskan,” sebut Agung