Kementerian Perindustrian (Kemenperin) meminta produsen tidak lagi membatasi pasokan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT). Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arif, menilai pembatasan gas murah itu bisa mengganggu industri.
Febri mengatakan HGBT merupakan komponen penting bagi berbagai pelaku industri untuk bisa melanjutkan proses produksinya.
“Kami meminta pada produsen gas untuk segera mencabut, mengeluarkan surat mencabut deklarasi gangguan gasnya itu. Kemenperin mempertanyakan mengapa pasokan gas kalau harganya di atas 15 USD per MMBTU itu ada, stabil, tapi kalau harganya 6 USD per MMBTU itu tidak stabil,” ujar Febri di Pabrik Sumi Asih, Bekasi, Jawa Barat, Jumat (22/8).
Febri telah melihat langsung dampak pembatasan gas itu ke operasional PT Sumi Asih di Bekasi, Jawa Barat, Jumat (22/8). Pabrik asam stearat dan gliserin itu terpaksa mengurangi kapasitas produksi sebanyak 20-30 persen setelah mendapatkan surat pembatasan pasokan gas murah dari produsen gas.
Direktur Operasional PT Sumi Asih, Sebastian Darmadi, mengungkapkan utilisasi pabrik yang dijalankannya kini hanya berkisar 60-70 persen. Sementara sebelum adanya surat pembatasan gas, utilisasi pabrik Sumi Asih sekitar 90 persen.
“Kalau kemarin sampai turunnya ke 60-70 persen, kami sebagai perusahaan sangat tergantung terhadap suplai gas,” ungkap Sebastian.
Sebastian menjelaskan pihaknya mendapatkan surat kedua dari produsen yang diterima pada 20 Agustus 2025. Isi surat itu memberitahukan kalau Sumi Asih hanya mendapatkan jatah 70 persen gas dari seluruh kebutuhan perusahaan. Bahkan surat pertama datang dengan kuota hanya sebesar 48 persen.
“Kita dapat surat cinta itu di tanggal 13 Agustus 2025, isinya ada pembatasan pasokan sampai 48 persen dan itu artinya hanya 8 persen gas HGBT per hari yang kami pakai,” kata Sebastian.
Sebastian menjelaskan secara keseluruhan Sumi Asih membutuhkan gas sekitar 1.500 MMBTU per hari. Namun, setelah pembatasan HGBT USD 6,5-USD 7 per MMBTU menjadi 70 persen per hari, akhirnya Sumi Asih hanya menggunakan 1.085 MMBTU.
Sebastian mengatakan angka 1.085 MMBTU ini melebihi 70 persen kuota HGBT yang dijatahkan untuk Sumi Asih. Dengan demikian Sumi Asih harus membayar surcharge 120 persen menjadi USD 15-USD 17 per MMBTU.
“Kalau lebih dari 8 persen, kita kena surcharge atau biaya tambahan lebih dari 120 persen,” tutur Sebastian.
Sebastian menuturkan pihaknya tidak bisa memaksa memproduksi produk dengan bahan bakar gas 70 persen dari kebutuhan. Sebab. akan mengurangi kapasitas produksi lebih banyak lagi. Ia menjelaskan Sumi Asih merupakan pabrik oleokimia berbasis ekspor dengan persentase 80 persen pasar luar negeri dan 20 persen domestik, yang telah terikat kontrak untuk memasok produk dengan jumlah tertentu.
Meski utilisasi pabrik telah berkurang menjadi 60-70 persen, Sebastian memastikan hingga kini pihaknya belum memangkas jumlah karyawan.
“Saat ini belum (ada PHK) tapi yang sudah mulai terdampak itu adalah di bagian proses pengemasan. Kami kan proses produksinya cuma tinggal 60 persen, jadi ya sepertiga dari karyawan enggak kita kerjakan, enggak dirumahkan cuma tapi mereka ya menganggur,” tutur Sebastian.