Menurut data Kementerian Kesehatan, hingga minggu ke-33 atau Agustus 2025, tercatat 23.128 kasus suspek campak di Indonesia yang tersebar di berbagai provinsi. Dari jumlah tersebut, 3.444 kasus di antaranya terkonfirmasi positif campak.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sumenep, drg. Ellya Fardasah, M. Kes, menyampaikan terjadi beberapa periode puncak kasus suspek campak di wilayahnya sepanjang tahun 2025.
"Penemuan kasus suspek campak tertinggi tahun 2025 terdapat pada bulan Juli, yaitu 382 kasus. Diketahui, mayoritas suspek campak atau 89 persen tidak mendapatkan imunisasi. Dan kasus paling banyak ditemukan pada usia balita," jelas drg. Ellya dalam konferensi pers virtual yang digelar Kemenkes, Selasa (26/8).
Kemudian penyebab tingginya kasus campak di Sumenep diikuti oleh 5 persen anak tidak mendapat imunisasi MR dua dosis, 4 persen anak tidak diimunisasi MR 1 dosis, dan 2 persennya tidak menjawab.
Dari 2.139 kasus suspek campak di Kabupaten Sumenep, sebanyak 1.322 di antaranya (61,8 persen) merupakan balita berusia 0-4 tahun. Dan mayoritas dialami oleh anak laki-laki, yaitu 51 persen. Hasil pemeriksaan spesimen menunjukkan 205 kasus positif campak.
Apa saja gejala campak yang banyak dialami anak-anak di Sumenep?
"Dalam waktu singkat saja anak dapat demam, pilek, mata belekan, batuk-batuk. Saat demam tinggi, dia [ruam] keluar merah-merahnya, khasnya di antara rambut dan kulit, kemudian menyebar ke seluruh tubuh. Demam ruam itu gejala campak yang khas sekali. Bila dia sudah mulai membaik, maka akan menghitam, menggelap, dan bersisik," kata dokter anak sekaligus anggota Komite Ahli Imunisasi dan Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi, Prof. dr. Anggraini Alam, SpA(K), pada kesempatan yang sama.
Sayangnya, Prof Anggi mengungkapkan gejala campak seringkali dianggap orang tua sebagai sakit ringan saja. Padahal, bila tidak tertangani dengan cepat dan tepat, maka bisa memperberat sakitnya hingga akhirnya terjadi komplikasi.
Kekhawatiran Orang Tua di Sumenep Sebabkan Anak Tidak Diimunisasi
Nah Moms, beredarnya informasi-informasi yang tidak tepat mengenai imunisasi dan vaksin menjadi alasan sebagian orang tua memutuskan tidak mengimunisasi anak-anaknya.
"Sebagian besar kalau kita liat survei, studi kecil, sebagian besar keraguan orang tua terhadap pemberian imunisasi. Kenapa? Karena banyak misinformasi yang mereka terima yang membuat mereka, [informasi] ini benar enggak, ya?" jelas Direktur Pengelolaan Imunisasi Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes RI, Dr. Prima Yosephine, MKM.
"Ada hal-hal lain, misalnya, di daerah yang jauh, adanya penolakan oleh isu yang di luar hoaks tadi, kultural, agama," imbuh dia.