INDONESIAN Parliamentary Center (IPC), lembaga yang fokus pada transparansi parlemen, mendorong Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membentuk tim panel untuk mengevaluasi besaran gaji dan tunjangan yang layak diterima anggota dewan. Direktur IPC Ahmad Hanafi mengatakan tim panel harus independen yang berisikan ahli keuangan negara, ahli parlemen, dan pakar kebijakan publik.
Tim tersebut nantinya bisa menghitung gaji dan tunjangan anggota dewan secara proporsional serta menyesuaikan APBN dan kondisi rakyat. “Tim ini merumuskan standar gaji dan standar kinerja berdasarkan prinsip proporsionalitas, transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas, termasuk merumuskan key performance indicator,” kata Hanafi pada Selasa, 2 September 2025.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Menurut Hanafi, kesenjangan pendapatan DPR dengan rata-rata masyarakat terlampau jauh sehingga menjadi salah satu penyebab demonstrasi. Kenaikan gaji, tunjangan, dan dana reses yang dinikmati anggota dewan terlampai tinggi mencapai ratusan juta rupiah di tengah kondisi sosial ekonomi yang masih rapuh.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada Mei 2025 angka kemiskinan masih berada di 8,47 persen atau 23,85 juta orang dan angka pengangguran terbuka di 4,76 persen. “Dengan realitas tersebut, gaji DPR setara dengan 27 kali lipat dari rata-rata upah minimum regional (UMR) rata rakyat Indonesia,” katanya.
Dari sisi kinerja, DPR juga tidak memuaskan. Hanafi menuturkan sejak pelantikan hingga Agustus 2025, penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang dibutuhkan publik sangat lambat, seperti RUU Masyarakat Adat, RUU Perampasan Aset, dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Sementara, revisi Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara (BUMN), revisi Undang-Undang TNI, dan revisi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (Minerba) sangat cepat pembahasannya.
Dalam proses penyusunan RUU, kinerja DPR juga tidak memenuhi standar kinerja transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas. Berdasarkan pemantauan Indonesian Parliamentary Center, terdapat 731 agenda rapat di DPR sepanjang 2025. Namun, dokumen hasil rapat yang diumumkan sangat
terbatas, yakni hanya berupa laporan singkat 79,8 persen , risalah hanya pada 25 persen. Bahkan, catatan rapat tidak tersedia sama sekali. Sementara itu, jumlah rapat tertutup mencapai 25,9 persen sepanjang masa sidang kedua hingga keempat.
“Rendahnya kualitas keterbukaan informasi ini mempersempit ruang partisipasi masyarakat sipil dalam mengawal legislasi, anggaran, maupun fungsi pengawasan,” katanya. “Kondisi ini memperkuat persepsi bahwa produk legislasi DPR lebih sering melegitimasi agenda pemerintah ketimbang menampung aspirasi publik.”
Demonstrasi besar-besaran di berbagai daerah terjadi sejak Senin, 25 Agustus, hingga 30 Agustus 2025. Unjuk rasa yang semula memprotes besaran tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat ini berubah menjadi kerusuhan dan penjarahan di berbagai lokasi di Indonesia.
Untuk meredam situasi, Presiden Prabowo Subianto mengumpulkan pimpinan lembaga legislatif dan para ketua umum partai politik di parlemen di Istana Negara, Jakarta, 31 Agustus 2025. Prabowo kemudian mengumumkan semua partai politik yang duduk di DPR RI sepakat mencabut kebijakan tunjangan anggota DPR RI dan menetapkan moratorium kunjungan kerja ke luar negeri.