REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bambang Widjojanto menegaskan bahwa parent of corruption (induk korupsi) penyebab kemerdekaan Republik Indonesia (RI) masih jauh dari kenyataan. Hal tersebut disampaikannya saat berbicara dalam acara Sarasehan Tokoh Bangsa bertema "Merajut Kebersamaan, Mewujudkan Merdeka dari Kemiskinan" di Sasana Budaya Rumah Kita Dompet Dhuafa, Jakarta Selatan, pada Rabu (13/8/2025).
Bambang mengatakan bahwa ada beberapa isu penting yang menyebabkan kemerdekaan Indonesia masih jauh dari kenyataan. Ada yang disebut parent of corruption atau induk korupsi.
"Parent of corruption adalah satu conflict of interest, kalau kita tidak bisa mengendalikan conflict of interest (konflik kepentingan), akan hancur," kata Bambang di acara yang digelar Dompet Dhuafa, Rabu (13/8/2025)
Ia mengungkapkan bahwa Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) hancur apakah karena kehebatan Indonesia, tentu tidak. VOC hancur karena korupsi, induk korupsinya disebabkan konflik kepentingan.
"Kalau kita tidak mampu menegasikan konflik kepentingan, maka kemudian itu akan menjadi kanker yang akan menghambat seluruh bentuk keadilan," ujarnya.
Bambang mengatakan, akibat konflik kepentingan, akhirnya pasar gelap ketidakadilan menjadi bagian penting di seluruh proses penegakan hukum di Indonesia. Dalam hal ini, pemerintah Indonesia tidak mampu secara penuh mengontrol konflik kepentingan.
Ia memberikan contoh konflik kepentingan yang menjadi induk korupsi agar tidak menjadi hoaks.
"Kalau saya sebagai dirjen di satu institusi seperti departemen keuangan, terus saya ditempatkan sebagai komisaris di satu bank, maka saya akan melindungi bank saya, tapi kebijakan keuangan saya juga menyangkut bank yang lain," ujar Bambang.
Ia menjelaskan, bagaimana orang yang merangkap jabatan sebagai dirjen di departemen keuangan dan komisaris di bank supaya bisa menundukan diri, sehingga kebijakan yang dikeluarkannya tidak merugikan bank lain. Bambang menegaskan, itulah masalahnya, antara regulator dan eksekutor menjadi satu. Maka pantas saja yang diproduksi adalah koruptor.
Ia menegaskan, bukan hanya konflik kepentingan, bangsa ini membiasakan yang namanya gratifikasi. Gratifikasi juga induk korupsi, kalau menerima gratifikasi apakah tidak ada kepentingan di baliknya. Mungkin tidak ada kepentingan hari ini, tapi di kemudian hari belum tentu.
Menurutnya, budaya di Indonesia adalah budaya memberi tapi salah menempatkannya sehingga jadi gratifikasi.
"Maukah kita mengendalikan konflik kepentingan dan gratifikasi untuk mewujudkan keadilan sosial, kalau tidak ada (yang mau), susah (mewujudkan keadilan sosial)," jelasnya.