
SELAMA 80 tahun merdeka, transformasi administrasi pertanahan yang modern masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah. Dari 70 juta hektare areal penggunaan lain (APL) di Indonesia, baru 55,5 juta hektare yang sudah terpetakan dan sudah terdaftar. Sebagian besar yang belum terpetakan berada di Pulau Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.
Hal itu disampaikan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nusron Wahid saat menjadi pembicara kunci pada acara diskusi terkait Integrated Land Administration and Spatial Planning Project (ILASPP) yang diselenggarakan Ikatan Surveyor Indonesia (ISI) di Jakarta, Rabu (6/8).
"Di Pulau Jawa sudah di atas rata-rata nasional. Rata-rata nasional itu 79,4%, di Pulau Jawa rata-rata sudah di atas 90%. Tapi untuk Pulau Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi rata-rata di bawah 60%," ungkap Nusron.
Untuk itu, katanya, salah satu pekerjaan utama dalam program ILASPP adalah melakukan pencocokan atau sinkronisasi antara peta APL dan peta hutan.
"Adanya program ILASPP ini, momentumnya lagi baik untuk menyelesaikan ini. Momentum pertama adalah ada Satgas PKH (Penertiban Kawasan Hutan). Momentum kedua adalah kebetulan yang menjadi Menteri Kehutanan (adalah) mantan Wakil Menteri ATR/BPN (Raja Juli Antoni)," ujarnya.
ILASPP sendiri adalah proyek nasional lintas kementerian dengan dukungan pembiayaan lebih dari Rp10 triliun dari World Bank. ILASPP merupakan inisiatif bersama antara Kementerian ATR/BPN, Badan Informasi Geospasial (BIG), dan Kementerian Dalam Negeri.
Tujuannya untuk membangun sistem pertanahan dan tata ruang yang terintegrasi, responsif terhadap perubahan iklim, serta mendukung legalitas dan kepastian investasi nasional hingga tahun 2029.
Menurut Nusron, transformasi administrasi pertanahan kata kuncinya adalah 2S, yakni sistem dan sinten (siapa yang berwenang).
"Sistem yakni bisnis prosesnya dibuat gampang, ringkas, sederhana tapi prudent, complient, akurat, dan IT-nya diperkuat. S yang kedua adalah sinten atau siapa SDM-nya," jelasnya.
Dengan munculnya one-map policy, lanjut Nusron, jangan sampai petanya tidak akurat.
"Kami minta tolong dibuatkan peta surveinya yang akurat, yang mengedepankan berbasis mitigasi risiko. Yang dihadirkan ke depan itu peta ini menyelesaikan masalah. Jangan sampai lahirnya peta malah menjadi sumber masalah," ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG) M Aris Marfai menyampaikan data geospatial knowledge network menunjukkan pertumbuhan teknologi dan informasi geospasial di Asia Pasifik, termasuk Indonesia, terus meningkat.
Sejak 2022 sampai sekarang, Asia Pasifik untuk teknologi dan informasi geospasial tumbuh dari 32% ke 33%. Sementara pasar Eropa turun dari 25% ke 23%, demikian juga pasar Amerika itu turun dari 33% ke 30%.
"Kalau kita lihat pertumbuhan Asia Pasifik menjanjikan, tentu memang di sana ada pemain kakap. Ada Jepang, Korea, Tiongkok," ungkapnya.
"Tapi jangan lupa, ada 280 juta penduduk di Indonesia yang juga perlu akses teknologi dan informasi geospasial. Artinya itu adalah pasar potensial. Dengan demikian, data dan informasi geospasial ini salah satu faktor penting untuk mendukung pelaksanaan pembangunan, untuk mendukung pertumbuhan ekonomi," jelasnya.
Ketua Umum Ikatan Surveyor Indonesia (ISI) Muchammad Masykur berharap melalui kegiatan diskusi ILASPP ini para surveyor memiliki kesempatan untuk mendalami lebih jauh strategi, tujuan, dan implementasi ILASPP di masa depan.
Menurutnya, para surveyor membutuhkan pemahaman yang utuh apa landasan hukum dan filosofi dari ILASPP, konsekuensi teknis dan kelembagaannya, dan bagaimana ISI berperan di dalamnya.
"Kami berharap peserta dapat menggali informasi, memperluas wawasan, dan memanfaatkan kesempatan ini dalam berjejaring sesama profesional, mitra, maupun stakeholder dalam dunia survei pemetaan," pungkasnya. (Ifa/E-1)