
Wakil Ketua Umum DPP Real Estat Indonesia (REI), Bambang Ekajaya, merespons keputusan Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Maruarar Sirait, yang membatalkan rencana pengurangan ukuran rumah subsidi.
Bambang menilai polemik tersebut sebaiknya ditutup dan pemerintah sebaiknya fokus untuk mengejar target 3 juta rumah yang sudah dicanangkan.
"Kadang-kadang hal-hal seperti ini yang membuat kita jadi lebih nggak produktif. Karena kan sebenarnya target 3 juta rumah itu kan waktu berjalan terus," ujar Bambang, ketika dihubungi kumparan, Sabtu (12/7).
Selain mendukung keputusan pembatalan, REI terus mendorong pemerintah untuk mengalihkan fokus pembangunan rumah subsidi ke hunian vertikal, terutama di kawasan perkotaan.
Menurut Bambang, konsep rumah subsidi berukuran kecil tetap bisa diterapkan dalam bentuk apartemen atau Rusunami.
"Makanya konsep apakah itu 18 meter itu bisa diterapkan, tapi untuk rumah hunian vertikal, gitu loh. Karena kan rumah vertikal kan memang di tengah kota, kebutuhannya hanya untuk tinggal, lalu setelah itu dia bisa bekerja atau memanfaatkan fasilitas di sekelilingnya, kan," jelasnya.
Kata Bambang, hunian vertikal memiliki sejumlah keunggulan, mulai dari efisiensi ruang, aksesibilitas, hingga kemudahan dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari karena dekat dengan fasilitas umum.

"Jadi quality of life-nya akan bagus. Kemudian yang kedua juga dengan hunian vertikal, fasilitas-fasilitas pendukung, ya. Karena kan kalau satu kompleks dengan jumlah sekian ratus orang, harus ada sekolah, dan sebagainya. Mall, belanja, dan sebagainya itu sudah ada di sekitarnya," terang dia.
Lebih lanjut, Bambang menjelaskan dua tantangan besar dalam penyediaan rumah subsidi, yakni ketersediaan lahan murah yang perizinannya mudah dan kelangsungan skema KPR subsidi.
Namun khusus untuk proyek rusunami, Bambang juga menyoroti kendala serius dalam penetapan harga jual yang tidak lagi sesuai dengan biaya konstruksi yang terus meningkat.
"Sedangkan hunian vertikal ada sedikit masalah, karena harga patokan jual rusunami itu sekarang ini di bawah harga biaya konstruksinya. Karena lebih dari 4 tahun itu belum direview kembali," lanjut Bambang.
Dia memandang, pembangunan rusunami membutuhkan pendekatan dan perhitungan berbeda dibanding rumah tapak karena sifatnya yang tidak bisa dibangun sebagian.
"Misalnya (hunian tapak) kita mau bangun 500 unit, laku 100 unit, kita tinggal bangun kan 100. Tapi kalau hunian vertikal, kita bangun 1 tower 500 unit misalnya, terjual hanya 50 unit, nggak mungkin kita bangun di 50 unit, kita harus bangun 500 unit," katanya.
Pada 10 Juli lalu, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait membatalkan rencana diperkecilnya ukuran rumah subsidi. Untuk hal ini, sosok yang akrab disapa Ara tersebut juga mengajukan permohonan maaf.
Sebelumnya dalam draf Keputusan Menteri PKP Nomor/KPTS/M/2025, minimal luas tanah rumah subsidi diperkecil menjadi 25 meter persegi sampai maksimal 200 meter persegi. Sementara untuk luas lantai turut ikut diperkecil dengan minimal 18 meter persegi sampai maksimal 36 meter persegi.
“Sesudah mendengar begitu banyak masukan termasuk dari teman-teman DPR Komisi V maka saya sampaikan permohonan maaf dan saya cabut ide itu ya, terima kasih,” kata Ara dalam Rapat Kerja Komisi V DPR RI dengan Menteri PKP di Gedung DPR, Jakarta Selatan pada Kamis (10/7).