
Indonesia Corruption Watch (ICW) menyoroti tingginya angka keterlibatan anggota DPR dalam kasus korupsi di Indonesia. Dalam rentang waktu dua dekade terakhir, sektor politik konsisten menjadi penyumbang terbesar dalam tindak pidana korupsi.
“Kalau kita melihat data dari KPK sepanjang 2003 hingga 2023, sektor politik itu selalu menyumbang angka korupsi yang cukup besar. Papan atas ada 532 anggota partai politik yang pernah ditetapkan sebagai tersangka,” ujar peneliti ICW, Yassar Aulia dalam pemaparan di Jakarta seperti dikutip pada Sabtu (6/8).
Sementra itu, ICW mencatat dari pemantauan terhadap putusan pengadilan dan penetapan tersangka yang dilakukan KPK, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian, sedikitnya ada 529 anggota legislatif yang menjadi tersangka korupsi sepanjang 2011 hingga 2023.
“Jumlah ini mencakup anggota legislatif baik di tingkat nasional maupun daerah,” kata Yassar.
Lebih lanjut, Yassar menjelaskan bahwa pada tahun 2019, lebih dari 60 persen pelaku korupsi berasal dari kalangan aktor politik. Menurutnya, tingginya angka korupsi dari sektor politik erat kaitannya dengan tingginya biaya politik di Indonesia.
“Modus utamanya bisa disimpulkan untuk membiayai kebutuhan politik atau kampanye mereka, atau untuk balik modal setelah duduk di kursi kekuasaan,” jelas Yassar.
Yassar menambahkan, mahalnya biaya politik turut mendorong para politisi untuk mencari sumber dana alternatif, termasuk melalui praktik korupsi.
“Kalau semua fraksi yang duduk di DPR saat ini pernah menyumbang kasus korupsi, artinya tidak ada partai yang benar-benar bersih. Ini bukan soal oknum lagi, tapi persoalan sistemik,” tegasnya.
ICW menilai, sistem politik dan hukum yang ada saat ini justru semakin membuka ruang lebar bagi terjadinya korupsi.
“Kalau semua kader partai terlibat, itu berarti sistem kita bermasalah. Ini bukan kesalahan individu atau satu partai saja,” ucapnya.
Tiga Akar Masalah Korupsi Politik
ICW mengidentifikasi setidaknya ada tiga akar persoalan korupsi politik di Indonesia. Pertama, biaya politik yang sangat tinggi. Kedua, lemahnya regulasi pengawasan dana publik. Ketiga, buruknya tata kelola partai politik.
“Tata kelola partai politik di Indonesia sangatlah buruk. Regulasi yang ada seharusnya menjamin akuntabilitas, tapi justru memberikan celah bagi korupsi,” ungkap Yassar.
Dalam temuan terbaru ICW tahun 2024, mayoritas anggota DPR berasal dari kalangan pebisnis. Hal ini lanjut Yassar, memperkuat dugaan bahwa keterlibatan modal besar menjadi kunci untuk lolos ke parlemen.
“Pengeluaran biaya untuk pencalonan di pemilu legislatif itu mulai dari ratusan juta hingga ratusan miliar rupiah,” ungkapnya.
ICW mencatat, dari 580 anggota DPR yang dilantik pada 2024, sebanyak 61% berlatar belakang sebagai pengusaha.
“Jadi tidak mengherankan ketika kita temukan bahwa mayoritas anggota DPR berasal dari kalangan bisnis. Yang bisa maju adalah mereka yang punya sumber daya material atau koneksi ke para pengusaha,” pungkasnya. (Dev/P-1)