
CHIEF Indonesia and India Economist HSBC Global Research Pranjul Bhandari menegaskan data pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) sudah valid. Hingga kuartal II 2025, BPS mencatat pertumbuhan ekonomi mencapai 5,12% secara tahunan (yoy), lebih tinggi dibandingkan kuartal I yang sebesar 4,9%.
Pranjul menyebut capaian tersebut merupakan kejutan positif, meski sebagian masyarakat merasa belum benar-benar merasakan pertumbuhan tersebut di lapangan.
"Faktanya, saya tidak punya alasan untuk meragukan data tersebut," ujarnya dalam acara Media Briefing HSBC: Indonesia Economy Outlook H2-2025 yang digelar secara daring, Jumat (8/7).
Pranjul menilai ada dua sumber utama yang menjaga pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap kuat, yakni investasi dan konsumsi rumah tangga.
Komponen Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) atau investasi fisik tumbuh 6,99% secara tahunan (yoy) pada kuartal II 2025, menjadi pertumbuhan tertinggi sejak kuartal II 2021. PMTB memberikan kontribusi sekitar 27–27,8% terhadap PDB nasional.
Pranjul mengatakan pada sisi investasi, dorongan terbesar berasal dari belanja modal pemerintah. Data menunjukkan pada April–Juni 2025, belanja modal pemerintah mencapai Rp70,1 triliun, melonjak signifikan dibandingkan kuartal sebelumnya yang sebesar Rp36,7 triliun pada Januari–Maret 2025. Kenaikan belanja modal ini tecermin pada meningkatnya aktivitas konstruksi.
"Saya rasa inilah yang mendorong pertumbuhan pada kuartal Juni," tegasnya.
Sementara itu, konsumsi rumah tangga tetap tumbuh 4,97%. Sejumlah indikator konsumsi menunjukkan perbaikan, khususnya pada pengeluaran untuk makanan, bahan bakar, pakaian, dan kebutuhan sehari-hari lainnya.
Menurut Pranjul, ketahanan konsumsi ini didorong oleh inflasi yang menurun, peningkatan upah di pedesaan, serta program bantuan sosial pemerintah. Meski konsumsi kelas atas cenderung melemah, kekuatan konsumsi secara keseluruhan banyak berasal dari sektor informal.
"Yang paling penting, konsumsi rumah tangga tetap tangguh dengan tumbuh hampir 5%. Menurut saya hal ini sebagian besar konsumsi dari sektor informal," ucapnya.
Dalam kesempatan sama, Head of Equity Strategy Asia Pacific HSBC Global Research Herald van der Linde menambahkan, Indonesia masih dihadapkan pada ketidakpastian global. Termasuk soal perang tarif, membuat banyak perusahaan menunda pembangunan fasilitas baru.
Meski begitu, ia melihat peluang bagi Indonesia di tengah pergeseran rantai pasok global yang menguntungkan kawasan ASEAN, terutama pada sektor seperti nikel.
Ke depan, Indonesia dinilai perlu menarik lebih banyak investasi asing atau foreign direct investment (FDI) di sektor padat karya untuk mendorong permintaan tenaga kerja terampil. Namun, ini juga merupakan target jangka menengah yang juga sedang dibidik negara lain seperti Vietnam dan Malaysia.
"Indonesia perlu memastikan tidak tertinggal dalam persaingan ini," pungkas Herald. (Ins/E-1)