
Calon Wakil Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Farid Azhar Nasution, menegaskan komitmennya memperkuat tata kelola, sumber daya manusia (SDM). Serta transformasi teknologi informasi dalam menghadapi mandat baru LPS sebagai penjamin polis asuransi pada 2028.
Farid memaparkan, LPS kini memiliki peran penting yang mencakup asesmen risiko bank, resolusi bank, serta penjaminan polis asuransi. Untuk program penjaminan polis, LPS sudah memiliki roadmap yang dimulai sejak 2023 dengan pembangunan organisasi dan kelembagaan, diharapkan siap trial pada 2027, dan implementasi penuh pada 2028.
“Di sini LPS sudah punya roadmap, tahun 2023 sudah dimulai dengan organisasi dan kelembagaan, kemudian diharapkan tahun 2027 sudah mulai siap, mungkin ada trial, dan akan dilakukan implementasi secara penuh sesuai undang-undang pada tahun 2028,” jelas Farid dalam fit and proper test bersama Komisi XI DPR RI, Rabu (2/7).
Selain itu, Farid juga menyoroti keberadaan Badan Supervisi LPS (BS LPS) yang membantu DPR dalam mengawasi kinerja LPS agar tetap akuntabel, transparan, dan independen.
Sebagai calon Wakil Ketua, Farid akan fokus pada enam program kerja utama, mulai dari pengelolaan investasi optimum, peningkatan efektivitas anggaran, penguatan organisasi dan SDM, penguatan tata kelola dan sistem informasi, penguatan pengawasan, hingga penguatan kantor perwakilan di daerah.
Di bidang investasi, Farid mengungkapkan perlunya diversifikasi, termasuk ke instrumen luar negeri, untuk menjaga stabilitas sistem keuangan dan memitigasi risiko tekanan harga pada Surat Berharga Negara (SBN).
“Ini apa tujuannya? Untuk mitigasi risiko, kalau nanti di SBN kita mengalami tekanan harga. Yang kedua adalah juga kita tahu bahwa seluruh beragam itu salah satu juga pengukuran tingkat stabilitas sistem keuangan,” ujarnya.

Farid menjelaskan, dalam menjaga keseimbangan antara likuiditas dan hasil (yield), LPS akan terus menghitung Cadangan Klaim Penjaminan (CKP) menggunakan metode statistik. Jika CKP terpenuhi, maka investasi bisa diarahkan ke instrumen yang lebih panjang.
Dari sisi organisasi, Farid menekankan perlunya pembentukan unit asesmen risiko di level direktur grup sebagai langkah antisipatif terhadap potensi krisis, seperti yang sudah diterapkan di Korea dan Malaysia.
“Kalau kita nggak punya unit itu, kita nggak ada yang asesmen dari awal gitu. Itu bahaya sekali,” katanya.
Farid juga menyoroti kebutuhan mendesak SDM yang memiliki keahlian di bidang asuransi. Ia berencana mengundang praktisi asuransi untuk memberikan pelatihan in-house, memanfaatkan fasilitas training center LPS.
“Kita undang orang-orang asuransi yang sudah pakar untuk memberikan training pak. Karena kita juga LPS punya training center-nya pak, dan saya adalah pendidiknya,” ujar Farid.
Ia juga akan menghidupkan kembali program secondment atau penempatan pegawai ke lembaga lain. Supaya pegawai memahami operasional bank dan asuransi secara langsung.
Terkait penguatan IT, Farid menekankan perlunya kajian mendalam sebelum implementasi, terutama terkait penggunaan IT BPR dan big data. Hal ini perlu dikaji dari sisi legalitas, akuntansi, hingga pembiayaan pemeliharaan.
“Makanya menurut saya, harus dulu ada kajian yang cukup mendalam, mengenai dari sisi regulasinya, mengenai sisi accounting prosesnya, sampai dengan nanti kegunaannya,” katanya.
Ia juga menekankan pentingnya mempercepat penyusunan regulasi turunan dari UU P2SK yang baru tercapai 40 persen. Menurut Farid, regulasi menjadi fondasi utama sebelum memperbaiki struktur organisasi, SDM, dan sistem IT.
“Nah, tadi Regulasi kita, PDK turunan itu baru tercapai 40 persen. Saya akan fokus di situ. Satu, kemudian adalah soal SDM dan organisasi. Yang paling penting kita harus punya dulu strukturnya, kita benerin dulu strukturnya, baru kita isi orangnya,” tegasnya.
Farid menambahkan, evaluasi efektivitas anggaran harus selalu dikaitkan dengan Key Performance Indicator (KPI), agar setiap rupiah yang dikeluarkan benar-benar mendukung tujuan kelembagaan dan meningkatkan kepercayaan publik.
Saat menyinggung pengalamannya di Jiwasraya, Farid menekankan pentingnya memegang teguh regulasi sebagai acuan utama. Ia pernah berhasil merestrukturisasi polis Jiwasraya dan memindahkan sekitar 80 persen polis ke IFG Life dalam waktu dua tahun.
“Karena kalau enggak nanti akan bermasalah di bulan hari. Dan kita enggak mau. Saya selalu berpandangan bahwa setiap orang yang bekerja dengan saya pribadi enggak mau ada masalah di bulan hari,” katanya.
Profil Farid Azhar Nasution
Farid Azhar Nasution memiliki pengalaman panjang di sektor keuangan, mulai dari regulator, swasta, hingga BUMN. Saat ini, ia menjabat sebagai Anggota Badan Supervisi LPS sejak Desember 2023.
Farid menyelesaikan Diploma Akuntansi di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (sekarang PKN STAN), kemudian melanjutkan Postgraduate Diploma di Universitas Prasetiya Mulya, serta Magister Manajemen di IPB University. Ia juga mengikuti program eksekutif di London Business School untuk mendalami Merger & Akuisisi serta Keuangan Perusahaan Lanjutan.
Kariernya dimulai sebagai auditor di Kementerian Keuangan (1992–1995), lalu di KPMG Indonesia, dentsu Indonesia, dan PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (IFG), menjabat di berbagai posisi strategis.
Di LPS, Farid pernah menjadi Kepala Divisi Investasi, Direktur Perbendaharaan, hingga Direktur Hubungan Internasional. Ia juga pernah menjabat Direktur Keuangan dan Investasi Jiwasraya, Direktur IFG Life, serta anggota tim restrukturisasi polis Jiwasraya.
Selain itu, Farid aktif sebagai Direktur Konsultasi dan Operasional Kelembagaan di Henan Asset Management (2022–2024), kini menjadi Penasihat Senior, serta anggota Komite GCG Terpadu IFG sejak 2024.