
Penasihat hukum eks Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong, menilai bahwa Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah lalai karena terlambat menyerahkan laporan audit BPKP terkait kerugian keuangan negara kasus importasi gula.
Hal itu disampaikan saat penasihat hukum Tom Lembong membacakan dupliknya atau jawaban atas tanggapan terhadap replik jaksa, dalam sidang kasus importasi gula, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (14/7).
Padahal, menurut penasihat hukum Tom Lembong, kliennya berhak mengetahui perbuatan yang dituduhkan kepadanya hingga mengakibatkan kerugian keuangan negara.
"Bahwa terdakwa berhak untuk mengetahui perbuatan apa yang dituduhkan kepadanya sehingga mengakibatkan kerugian keuangan negara, apa dasar dan atau bagaimana metode perhitungan kerugian keuangan negara, serta berapa jumlah kerugian keuangan negara yang pasti dan nyata sebagaimana yang dituduhkan kepadanya," kata penasihat hukum Tom Lembong, dalam persidangan, Senin (14/7).
Penasihat hukum Tom Lembong menyatakan, bahwa sejak dijerat tersangka hingga kini duduk di kursi pesakitan, kliennya hanya mengetahui adanya kerugian negara tanpa adanya kejelasan perbuatan yang dilakukannya hingga merugikan negara.
"Bahwa terdakwa sejak awal ditetapkan sebagai tersangka sampai dengan jalannya persidangan sebagai terdakwa, hanya mengetahui adanya kerugian negara," tutur penasihat hukum Tom.
"Namun, tidak mendapatkan kejelasan mengenai atas sebab tindakan apakah terdakwa dianggap merugikan keuangan negara," imbuhnya.
Penasihat hukum Tom pun menilai, laporan audit BPKP itu berhak diketahui dan mestinya diterima kliennya sejak pelimpahan berkas perkara. Hal itu wajib dilakukan oleh jaksa sebagaimana ketentuan di Pasal 72 KUHAP.
"Dengan mengetahui hak-haknya tersebut di atas, maka terdakwa berkesempatan sejak awal mempersiapkan pembelaan diri sebaik-baiknya terhadap hal-hal yang didakwakan JPU," ucap penasihat hukum Tom.
"Oleh karenanya, penyerahan LHP BPKP lebih awal dan atau dilakukan pada saat pertama kali pemeriksaan alat bukti saksi-saksi dalam pemeriksaan persidangan perkara a quo adalah hal yang adil, patut dan wajar demi tujuan bersama, yaitu menemukan kebenaran materiil," jelasnya.
Adapun laporan audit BPKP itu baru diserahkan jaksa setelah saksi fakta rampung diperiksa dalam persidangan. Hal itu membuat kubu Tom Lembong tak bisa menggali hasil audit BPKP tersebut.
Dengan begitu, penasihat hukum Tom menegaskan bahwa jaksa telah menunjukkan kelalaiannya dalam memenuhi prinsip keadilan bagi kliennya. Bahkan, lanjut dia, keterlambatan itu hanya dalih jaksa untuk menutupi kelemahan substansi perkara.
"Telah terbukti secara sah dan meyakinkan bahwa keterlambatan JPU dalam menyampaikan Laporan Hasil Audit atas kerugian keuangan negara oleh BPKP menunjukkan bahwa audit yang seharusnya menjadi dasar utama dalam pembuktian unsur kerugian negara justru telah dilalaikan, ditunda-tunda, dan dijadikan alasan untuk menutupi kelemahan substansi perkara," ungkap penasihat hukum Tom Lembong.
Lebih lanjut, penasihat hukum Tom menyatakan hal itu juga memperkuat dugaan bahwa perkara yang menjerat kliennya justru dipaksakan.
"Hal ini memperkuat dugaan bahwa perkara a quo sejatinya merupakan perkara yang dipaksakan, yang tidak dibangun atas dasar fakta dan hukum yang kokoh, melainkan semata-mata dilandasi kehendak untuk menjadikan terdakwa sebagai pihak yang bersalah dengan cara apa pun," katanya.
Untuk itu, penasihat hukum Tom pun meminta Majelis Hakim menolak dalil jaksa yang disampaikan dalam repliknya.
"Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka sudah sepatutnya Majelis Hakim Yang Mulia yang memeriksa dan memutus perkara a quo menolak serta mengesampingkan seluruh dalil-dalil JPU dalam repliknya," pungkasnya.
Kata Jaksa soal Audit BPKP
Dalam replik, jaksa menjelaskan soal audit tersebut. Menurut jaksa, berdasarkan Pasal 143 ayat 4 KUHAP, laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPKP RI tak wajib untuk dilampirkan dalam berkas perkara.
Jaksa beralasan LHP BPKP baru akan dijelaskan secara lengkap oleh ahli BPKP saat persidangan dengan agenda pemeriksaan ahli.
"Penuntut umum tidak memiliki kewajiban untuk menyerahkan alat bukti surat berupa LHP maupun kertas kerja BPKP RI kepada terdakwa maupun penasihat hukum terdakwa. Namun atas iktikad baik penuntut umum, kami telah menyerahkan LHP BPKP satu minggu sebelum pemeriksaan ahli dari BPKP," kata jaksa membacakan replik dalam sidang beberapa waktu lalu.
Oleh karenanya, jaksa menilai keberatan Tom Lembong terkait LHP BPKP tersebut adalah sebuah hal yang tak benar.
Tuntutan Tom Lembong

Dalam kasus impor gula ini, Tom Lembong dituntut 7 tahun penjara dan pidana denda sebesar Rp 750 juta subsider 6 bulan kurungan.
Jaksa meyakini bahwa Tom Lembong terbukti bersalah dan terlibat dalam kasus dugaan korupsi importasi gula yang mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 578,1 miliar.
Usai dituntut 7 tahun penjara, Tom Lembong menilai bahwa isi dari surat tuntutan jaksa sama sekali mengabaikan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan selama ini.
Tom juga mengaku kecewa lantaran tak adanya pertimbangan jaksa terkait sikap kooperatif yang telah dia tunjukkan selama ini.