
Puspa (bukan nama sebenarnya), seorang perempuan muda asal Jogja menjadi korban perdagangan orang ke Kamboja. Ia menjadi korban penipuan lowongan kerja ke luar negeri yang berujung pada eksploitasi, kekerasan, dan dipaksa untuk menipu sesama warga Indonesia.
Berawal dari Facebook, Berakhir di Kamboja
Segalanya bermula dari pencarian kerja di media sosial. Puspa mengunggah pengalamannya di Facebook, hingga seorang perempuan menghubungi dan menawarkan pekerjaan di sebuah restoran di Thailand.
“Saya cari pekerjaan di sosial media Facebook. Saya memposting saya bisa kerja, apa pengalaman saya. Lalu ada seorang wanita yang inbox ke Facebook saya,” kata Puspa dikutip dari laman Pemda DIY, Kamis (17/7).
Komunikasi berlanjut ke WhatsApp dan berlangsung intens selama sebulan, termasuk panggilan telepon dan video. Puspa dijanjikan bekerja sebagai staf dapur dengan gaji 900 dolar, dan seluruh dokumen kerja akan diurus di Thailand.
“Pengalaman saya kalau di Singapura bisa dengan proses calling visa seperti itu. Jadi dokumen akan diurus di negara setelah kita datang, seperti Singapura,” ujarnya.
Namun tiket yang dikirim justru menuju Ho Chi Minh, Vietnam. “Saya bertanya, kenapa saya dibelikan tiket ke Ho Chi Minh, kenapa tidak ke Thailand langsung. Tapi ia bilang, untuk tenang, dan percaya saja.”
Diserahkan di Pasar, Masuk ke Sarang Scam

Di Vietnam, Puspa dijemput pria bermotor dan baru sadar bahwa dirinya tengah dibawa masuk ke wilayah Kamboja secara ilegal. Di sebuah pasar, ia menyaksikan seorang pria Tionghoa menyerahkan uang ke pria yang membawanya.
Ia lalu dibawa ke apartemen dan dimasukkan ke sebuah ruangan berisi sekitar 45 pria yang bekerja dengan komputer.
Puspa bertanya pada seseorang di sana, “Ini sebenarnya kita kerja apa?” dan mendapat jawaban: “Kita bekerja sebagai scammer atau penipuan online.”
Dipaksa Jadi Scammer, Target Rp300 Juta per Bulan
Puspa tak punya pilihan selain ikut terlibat. Ia menjelaskan, “Kamu tipulah banyak-banyak orang Indonesia. Kamu tidak akan bisa dipenjara. Dan jika kamu tidak bisa menipu, kamu akan merasakan denda atau hukuman. Begitu yang mereka katakan.”
Ia bekerja dalam sistem tim dengan peran CS, resepsionis, dan mentor. Target bulanannya adalah menipu hingga Rp300 juta. Jika hanya mencapai setengah, ia hanya menerima setengah gaji. Jika tidak mencapai Rp100 juta, ia tidak digaji sama sekali.
Modusnya melibatkan link aplikasi dari luar Play Store, top up bertahap, hingga kelompok WhatsApp berisi satu korban asli dan empat akun palsu. Jumlah top up bisa mencapai belasan juta rupiah.
“Kalau sudah masuk uang, kita nggak akan kembali,” kata Puspa.
Ancaman Fisik, Penyiksaan, dan Denda Berat

Kegagalan mencapai target tidak hanya berdampak pada gaji, tetapi juga risiko kekerasan. “Risiko yang kita alami, kita bisa disetrum, atau dilempar dari lantai tiga, dan itu sudah teman saya alami. Kita bisa dipukuli satu kantor. Setiap kita masuk ke ruangan bos, di situ sudah ada setrum, pistol, dan tongkat panjang,” ungkapnya.
Jam kerja berlangsung dari pukul 09.00 sampai 00.00. “Denda yang kita alami itu seperti ke toilet lebih dari 6 kali, didenda $10. Melebihi batas maksimal di toilet 10 menit, didenda $10. Tidur atau memejamkan mata sebentar, didenda $50 atau Rp750.000,” jelasnya.
Pekerja yang dianggap tak produktif akan “dijual” ke perusahaan lain dan diwajibkan membayar Rp15 juta. “Dijual” inilah yang menjadi ketakutan terbesar.
Keseharian Puspa juga sangat memprihatinkan. “Kita diberi makan, tapi yang harus dimakan itu saren, babi, katak. Dan kita tidak punya pilihan lain,” katanya.
Ia sempat mencoba menghubungi KBRI untuk minta bantuan, tetapi statusnya sebagai pekerja ilegal membuat proses evakuasi sulit. Puspa akhirnya ditahan satu bulan di Imigrasi Kamboja sebelum dideportasi.
Pulang ke Indonesia dan Harus Didampingi Psikiater

Sepulang ke Indonesia, Puspa dibantu BP3MI dan Dinas Sosial DIY untuk memulihkan mentalnya sampai saat ini. “Saat ini saya dibantu semuanya dari mental, kebutuhan hidup, kebutuhan pangan pun saya dibantu sampai saat ini. Di situ saya mendapatkan bantuan pendampingan psikiater, pengobatan untuk biaya perobatan saya, makan, dan lainnya,” katanya.
Kini Puspa menjalani rehabilitasi sosial dan mengikuti pelatihan keterampilan. Ia berharap bisa membuka usaha sendiri di Yogyakarta. “Saya ingin membahagiakan keluarga tanpa harus bekerja di luar negeri, tapi berkarya di sini,” ujarnya.
Kepala Balai Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Wanita (BPRSW) Dinsos DIY, Widianto, menjelaskan bahwa lembaganya memiliki enam balai untuk menangani berbagai permasalahan sosial. Salah satunya adalah perlindungan bagi perempuan korban perdagangan orang dan pekerja migran bermasalah.
“Jadi kecuali konsultasi psikologi, terus penyelesaian permasalahan mereka melalui konselor dan pendampingan dari pekerja sosial, kami menyediakan bimbingan. Bimbingan mental sosial, bimbingan keagamaan, bimbingan fisik, dan juga bimbingan keterampilan,” terang Widianto.
Ada empat keterampilan utama yang diajarkan: Olahan pangan, membatik, tata rias, serta menjahit dan bordir. Rehabilitasi berlangsung antara tiga bulan hingga tiga tahun, sesuai Permensos No. 5 Tahun 2017. Program ini juga terhubung dengan mitra perusahaan dan perguruan tinggi untuk membuka peluang kerja.
“Kami mohon masukan ya kepada mereka karena riset itu akan membantu kami mengurangi risiko dan mengejar mutu-mutu dari apa yang kami lakukan,” tutupnya.