SUCIWATI masih ingat betul saat suaminya, Munir Said Thalib, mendapat cibiran dari sesama pegiat hak asasi manusia (HAM) menjelang pelaksanaan pemilihan presiden 2004 silam. Penyebabnya adalah keputusan Munir yang dianggap kontroversial, yakni mendukung salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden Amien Rais-Siswono Yudo Husodo.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
"Banyak yang mempertanyakan imparsialitas Cak Munir tanpa mengetahui alasan sebenarnya," kata Suciwati kepada Tempo pada Selasa, 26 Agustus 2025.
Dia bercerita, keputusan Munir mendukung duet Amien-Siswono saat itu, sebetulnya didasari atas kesepakatan kontrak politik. Dari lima pasangan calon, kata dia, hanya Amien-Siswono yang menyanggupi kontrak politik tersebut.
Suciwati menuturkan, saat itu, Munir menyodorkan kontrak politik yang berisikan kesepakatan komitmen calon untuk melakukan penegakan hukum secara transparan dan akuntabel, serta pengusutan tuntas kasus pelanggaran HAM.
Lalu, komitmen menjaga kelestarian lingkungan dari ancaman korporasi; pengelolaan sumber daya alam yang diprioritaskan untuk kepentingan rakyat; serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
"Sebetulnya, Cak Munir itu hanya jadi bintang iklan kampanye Amies Rais, bukan juru bicara," ujar dia.
Pada pilpres 2004 silam, terdapat lima pasangan calon presiden dan wakil presiden yang berlaga dengan tiga di antaranya merupakan figur berlatar belakang pensiunan militer, yaitu Wiranto; Susilo Bambang Yudhoyono; dan Agum Gumelar.
Kontestasi ini berlangsung dua putaran yang menyisakan pertarungan Megawati-Hasyim dengan duet SBY-Jusuf Kalla. SBY-JK keluar sebagai pemenang dengan torehan 60,62 persen suara. Sedangkan duet Amien-Siswono gugur di putaran pertama.
Munir dikenal luas sebagai salah satu pegiat HAM Tanah air yang berkiprah jauh sebelum reformasi lahir pada 1998. Kiprahnya di bidang HAM dan advokasi acapkali menyebabkan ia harus berseteru dengan militer era Orde Baru.
Menurut Suciwati, Munir memang sempat menemui para kandidat, termasuk SBY dan Agum. Namun, kala itu, para kandidat menolak untuk menyepakati kontrak politik yang disodorkan. "Untuk Wiranto, Munir tak menemui karena rekam jejaknya," ucap Suciwati.
Ditemui terpisah, Mohammad Choirul Anam, menjelaskan alasan Munir mendukung Amien-Siswono pada pilpres 2004. Anam merupakan salah satu sahabat Munir dan beberapa kali mengikuti pertemuan Munir dengan mantan Ketua MPR itu.
Dia mengatakan, keputusan Munir mendukung Amien dilatari imbas adanya basis massa yang lebih dulu digalang oleh para kandidat dari unsur militer. Menurut dia, besarnya suara basis massa ini berdampak besar dalam membantu kandidat mengamankan perolehan suara.
Munir, kata dia, yang memiliki kemampuan negosiasi dan kedekatan dengan basis massa tersebut, kemudian membuat kesepakatan yang mengharuskan pria asal Malang, Jawa Timur itu masuk ke dalam tim Amien-Siswono.
"Basis ini ingin yang konkret. Mereka mau dukung Amien kalau Munir juga mendukung," ujar Anam pada Kamis 28 Agustus 2025.
Anam melanjutkan, di sisi lain, Munir juga memiliki tujuan, yaitu menegakan reformasi militer sebagaimana komitmennya. Kendati terdapat pasangan calon lain yang berasal dari kalangan sipil kala itu, dia mengatakan, hanya duet Amien-Siswono yang bersedia menyepakati kontrak politik dan memiliki rekam jejak cukup baik dari kandidat sipil lainnya.
"Munir sudah buat hitung-hitungan politiknya saat itu. Tetapi, tujuan utamanya adalah menjalankan amanah reformasi," ujar Komisioner Komisi Kepolisian Nasional Itu.
Anam bercerita, saat memutuskan dukungan kepada Amien-Siswono, Munir telah mengajukan penonaktifan dirinya sebagai Direktur Imparsial hingga pilpres rampung dilaksanakan. "Munir taat organisasi," katanya. "Setahu saya, tidak ada tawaran jabatan saat itu."
Munir tewas di langit Rumania dalam perjalanannya menunju Bandar Udara Schiphol Amsterdam, Belanda pada 7 September 2004. Munir tewas diracun senyawa arsenik yang dilarutkan pilot Garuda Indonesia, Pollycarpus Budihari Priyanto, ke dalam jus jeruk yang diminum saat penerbangan.
Polly divonis hukuman 20 tahun penjara, namun ia dibebaskan pada 2018 setelah memperoleh beberapa kali remisi. Dua tahun berselang, Polly meninggal karena Covid-19. Kendati begitu, para pegiat HAM menduga pembunuhan Munir dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan melibatkan beberapa figur yang memiliki kedudukan tinggi di negara ini. Dugaan itu menguat usai laporan Tim Pencari Fakta (TPF) tak pernah dipublikasikan hingga 21 tahun berlalu.