
Calon Kepala Sekolah Rakyat, Gita (42), bicara soal maraknya perundungan atau bullying yang terjadi di sekolah. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mencegah ini terjadi lagi.
Gita merupakan satu dari 47 calon Kepala Sekolah Rakyat yang mengikuti retreat tahap kedua oleh Kementerian Sosial. Kegiatan tersebut berlangsung di Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial (Pusdiklat Kesos), Margaguna, Jakarta Selatan, pada 2-7 Juli 2025.
Gita menilai, ada sejumlah cara yang bisa dilakukan untuk menekan bullying. Dia yang pernah menjadi Wakil Kepala Sekolah Bidang Humas dan guru Bahasa Jepang di SMA Negeri 11 Tangerang Selatan ini pernah menerapkannya.
“Kalau saya di sekolah itu membuat semacam link aduan gangguan sosial. Jadi dengan melakukan scan QR mereka itu bisa langsung mengisi satu google form di mana mereka ada ketidaknyamanan, baik hal bullying ataupun tekanan-tekanan sosial lainnya,” tutur Gita di lokasi retreat, Rabu (2/7).
“Nah dari itu kita akan telusuri dengan bantuan guru BK dan juga dari manajemen, sehingga masalah bullying yang sekecil pun bisa terdeteksi dan diselesaikan,” tambahnya.
Menurutnya, upaya preventif juga dilakukan secara aktif lewat deklarasi anti-bullying dan anti-tawuran yang ada di program Cetar (Cegah Tawuran).
Bingkisan Buat Guru

Di sisi lain, ada "budaya" bingkisan bagi guru yang belum juga hilang di Indonesia. Ini biasa terjadi di akhir masa semester.
Mengenai ini, Gita menyatakan bahwa hal itu belum dibahas secara rinci dalam retreat hari pertama.
“Mungkin secara garis besar belum sampai sedetail itu sih karena kita juga masih hari pertama dan baru pembukaan ya, belum masuk ke materi yang ini, yang pokoknya. Mungkin setelah itu akan ada penjelasan mengenai itu,” ucapnya.
Saat ditanya soal kepastian tunjangan atau gaji yang setara dengan pekerjaannya sebelumnya, Gita mengaku belum mendapat penjelasan resmi. Namun baginya, pengabdian sebagai guru adalah komitmen utama.
“Belum ada pembicaraan mengenai hal itu sampai saat ini dan ya, kembali lagi sih. Kalau bagi saya pribadi sih ya niatnya kita sebagai seorang ASN apalagi guru memang pengabdian ya,” pungkasnya.
Gita mengatakan, menjadi kepala Sekolah Rakyat merupakan panggilan. Sepanjang menjadi guru, dia kerap melihat nasib warga miskin yang terpaksa putus sekolah karena keterbatasan biaya.
“Kami seorang pendidik juga merasa sedih ya, ketika ada anak didiknya yang putus sekolah karena masalah ekonomi dan yang lainnya. Padahal dari sekolah sudah membantu semaksimal mungkin melalui beasiswa,” ungkap Gita
“Tapi memang kondisi keluarganya itu yang ekstrem miskin sehingga untuk biaya sekolah berangkat pun tidak ada. Dan itu banyak terjadi,” tambahnya.

Ia menilai kehadiran Sekolah Rakyat sebagai jawaban atas tantangan tersebut. Dengan sistem berasrama dan kebutuhan dasar siswa yang ditanggung negara, anak-anak dari keluarga miskin ekstrem dipastikan tetap bisa belajar dan bertumbuh tanpa kekhawatiran biaya.
“Saya melihat Kepala Sekolah Rakyat itu konsep yang luar biasa, bagaimana pemerintah itu bisa meng-handle atau memenuhi semua kebutuhan basic anak itu dan memastikan anak itu tiap hari mendapatkan pendidikan,” jelas Gita.
“Itu mungkin yang tidak bisa dilakukan oleh sekolah biasa ya, karena kan di sini di asrama, makannya, akomodasinya semuanya sudah terpenuhi,” ucap dia.