PRESIDEN Prabowo Subianto kembali menyebut istilah antek asing saat memberikan arahan dalam acara pembekalan guru dan kepala sekolah rakyat di Jakarta International Expo, Jakarta Pusat, Jumat, 22 Agustus 2025.
Dalam pidatonya di hadapan 2.296 guru dan 155 kepala sekolah, Prabowo mengklaim kabinetnya telah menunjukkan hasil meski baru bekerja 300 hari. Namun, ia mengingatkan bahwa masih ada pihak-pihak yang tidak senang dengan kebangkitan Indonesia.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
“Saya katakan mereka sadar mereka antek asing. Mereka tidak suka Indonesia bangkit. Tapi kita yang akan bangkit bersama Indonesia!” ujar Prabowo.
Prabowo dalam pidatonya tersebut juga menegaskan pemerintahannya berada di jalur yang benar, seraya mengutip peribahasa anjing menggonggong kafilah berlalu.
Ia meminta masyarakat percaya bahwa Indonesia akan menuju kebangkitan dengan menguasai kembali kekayaan bangsa. Menurutnya, pendidikan menjadi kunci agar generasi muda mampu mengelola sumber daya alam ketika sudah berhasil direbut kembali.
Momen Lain Prabowo Menyebut Antek Asing
Istilah antek asing bukan kali ini saja keluar dari mulut Presiden ke-8 RI. Sejak masa kampanye, Prabowo kerap mengulang jargon tersebut sebagai peringatan sekaligus pembeda dirinya dari kelompok yang ia tuding terpengaruh kepentingan luar negeri.
HUT Partai Gerindra, 15 Februari 2025
Di Sentul International Convention Center, Bogor, Prabowo mengingatkan ribuan kader Partai Gerindra agar mewaspadai kekuatan asing yang berusaha menghasut publik. Ia menuduh ada LSM dan media massa yang dibiayai pihak asing untuk membentuk opini.
Wawancara dengan Jurnalis Senior, 8 April 2025
Dalam sesi wawancara di Hambalang, Bogor, Prabowo menuding demonstrasi “Indonesia Gelap” terkait revisi UU TNI mendapat dukungan dana asing.
“Coba perhatikan apakah demo-demo itu murni atau ada yang bayar?” ucapnya.
Peringatan Hari Lahir Pancasila, 2 Juni 2025
Dalam pidato di Gedung Pancasila, Jakarta Pusat, Prabowo kembali menyinggung praktik adu domba oleh bangsa asing. Ia menyebut LSM kerap menjadi alat kepentingan luar negeri, meski mengatasnamakan demokrasi dan hak asasi manusia.
Kampanye Pilpres 2024
Bahkan sebelum resmi menjabat, Prabowo sudah kerap mengaitkan kritik terhadap Presiden Joko Widodo dengan label antek asing. Di Sidoarjo, 9 Februari 2024, ia menyebut ada pihak yang “menjelek-jelekkan Jokowi” karena menjadi kaki tangan asing.
Berdasarkan penelusuran Tim Cek Fakta Tempo, penggunaan istilah antek asing sudah dilakukan Prabowo sejak Pemilu 2014. Saat itu, ia menuding adanya campur tangan negara lain dalam proses pemilihan umum. Di Pemilu 2019, narasi serupa kembali muncul untuk menuding lawan politik dan situasi pemerintahan.
Namun, setelah masuk kabinet Jokowi sebagai Menteri Pertahanan, target narasi bergeser. Prabowo tidak lagi menuduh pemerintah sebagai antek asing, melainkan kelompok kritis, LSM, hingga mahasiswa. Setelah dilantik sebagai presiden pada 20 Oktober 2024, penggunaan istilah ini semakin intens untuk melabeli kelompok sipil yang vokal.
Data Tempo menunjukkan pada 2025, narasi antek asing muncul paling banyak, yakni sembilan kali. Dari total 17 kali Prabowo menggunakan istilah itu sejak 2014, delapan di antaranya diarahkan ke organisasi masyarakat sipil, mahasiswa, atau kelompok kritis.
Pakar komunikasi politik Universitas Padjadjaran (Unpad), Kunto Adi Wibowo, menyebut strategi retorika antek asing efektif untuk membangun narasi “kita versus mereka”. “Strategi ini memberi keuntungan politik dengan mendelegitimasi pihak yang mengkritik, meski secara faktual Prabowo juga bekerja sama dengan asing,” ujarnya.
Contohnya, selama menjabat Menteri Pertahanan, Prabowo membeli alutsista dari Amerika Serikat dan Prancis dengan nilai utang mencapai Rp 387,5 triliun. Bahkan pada November 2024, ia menandatangani kerja sama dengan pemerintah Cina untuk mendukung program Makan Bergizi Gratis.
Deputy Director Herb Feith Indonesian Engagement Centre, Sabina Satriyani Puspita, menambahkan bahwa narasi antek asing bisa mengasingkan warga dari persoalan nyata.
“Sebagai strategi disinformasi dan propaganda, retorika ini juga memanfaatkan pendengung di media sosial untuk mempengaruhi opini publik,” katanya.
Menurut Sabina, pola serupa pernah digunakan pemimpin Asia Tenggara dan Asia Timur pada 1990-an untuk menolak nilai-nilai hak asasi manusia yang dianggap “produk Barat”. Akibatnya, kelompok pejuang HAM kerap mengalami represi.