REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA –Demonstrasi yang berlangsung di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, pada Rabu (13/8/2025) menyita perhatian publik.
Ribuan warga turun ke jalan memprotes kebijakan bupati yang menaikkan tarif pajak daerah secara signifikan. Kenaikan itu dinilai memberatkan, apalagi di tengah situasi ekonomi masyarakat yang belum sepenuhnya pulih.
Pengurus Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU 2022-2027, Iffah Umniati Ismail mengatakan, peristiwa yang terjadi di Pati memunculkan pertanyaan klasik yang kembali relevan, sejauh mana negara berhak memungut pajak? Bagaimana Islam memandang pungutan negara di luar zakat?
"Pertanyaan ini pernah dikupas secara komprehensif oleh LBM PBNU dalam Munas Alim Ulama NU di Jakarta pada 5-7 Februari 2025 lalu, keputusan forum ini memberikan panduan fikih yang relevan sekaligus menegaskan batas-batas syar’i dalam pemungutan pajak," kata Iffah dalam pesan tertulis yang diterima Republika, Kamis (14/8)
Pajak sumber utama pendapatan negara
Data Kementerian Keuangan menunjukkan, pada 2024 pendapatan negara diperkirakan sebesar Rp 2.802,3 triliun, dengan sekitar 80 persen bersumber dari pajak. Sementara Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) hanya sekitar 20 persen, sisanya berasal dari hibah.
Iffah mengatakan, fakta itu memunculkan kritik, termasuk dalam pembahasan Bahtsul Masail, bahwa ketergantungan berlebihan pada pajak berpotensi membebani masyarakat, apalagi jika pemerintah tidak mengoptimalkan pendapatan dari sektor lain seperti pengelolaan sumber daya alam, BUMN, dan kekayaan negara yang dipisahkan.
"Dalam pandangan fikih, pajak mestinya menjadi instrumen darurat dan komplementer, bukan sumber utama yang secara permanen menopang APBN," ujarnya.
Pandangan fikih
Hasil Bahtsul Masail Munas NU 2025 menegaskan bahwa hukum asal pungutan wajib bagi Muslim hanyalah zakat. Zakat memiliki landasan tegas dalam Alquran dan hadis, serta menjadi pilar distribusi kekayaan dalam sejarah Islam.
Namun, ulama berbeda pendapat tentang kebolehan pungutan di luar zakat:
1. Pendapat yang melarang secara mutlak
Pajak di luar zakat dipandang sebagai muks pungutan yang diharamkan dan termasuk mengambil harta secara batil. Dalam pandangan ini, negara tidak boleh membebani rakyat dengan pungutan tambahan selain zakat, bahkan untuk tujuan kemaslahatan, karena dianggap membuka pintu kezaliman fiskal.
2. Pendapat yang membolehkan dengan syarat ketat
Pajak diperbolehkan apabila terdapat kondisi dharurah atau hajah mendesak, sementara dana zakat dan sumber pendapatan lain tidak mencukupi. Kebolehan ini terikat pada tiga syarat utama: (a) adanya kebutuhan mendesak, (b) penarikan dilakukan secara adil dan proporsional, dan (c) distribusi hasil pajak juga adil dan proporsional untuk kemaslahatan umum.
Munas NU kemudian memilih pendapat kedua dan menegaskan bahwa pajak tidak boleh menjadi sumber rutin permanen, tetapi hanya mekanisme darurat untuk menutup kebutuhan negara yang benar-benar mendesak. Kebijakan fiskal yang melampaui batas ini berpotensi kehilangan legitimasi syar‘i.