
KOTA terbesar di Jalur Gaza kini resmi dinyatakan mengalami kelaparan oleh otoritas internasional yang menangani krisis pangan. Laporan Integrated Food Security Phase Classification (IPC) pada Jumat (22/8) menyebut kondisi darurat gizi mencapai level paling parah di Gaza City dan kemungkinan akan meluas ke Khan Younis serta Deir al-Balah jika blokade bantuan dan tidak ada gencatan senjata terus berlanjut.
Selama beberapa bulan terakhir, organisasi kemanusiaan dan pakar pangan telah memperingatkan situasi kritis di Gaza. Namun, laporan IPC menjadi pernyataan resmi pertama yang memastikan kelaparan di Gaza terjadi.
IPC terdiri dari lebih dari selusin badan PBB, kelompok-kelompok bantuan, pemerintah, dan badan-badan lain. Lembaga itu dibentuk pada 2004 selama bencana kelaparan di Somalia
Israel langsung menolak temuan itu. "Tidak ada kelaparan di Gaza," kata Kementerian Luar Negeri Israel. Laporan IPC disebutnya berdasarkan kebohongan Hamas melalui organisasi-organisasi yang memiliki kepentingan pribadi.
Menurut IPC, lebih dari 500.000 orang di Gaza kini menghadapi kondisi bencana akibat kelaparan, kemelaratan, dan kematian. Laporan itu juga memperkirakan 1,07 juta warga lain berada di kategori berisiko tinggi menuju kelaparan.
Antara pertengahan Agustus hingga akhir September 2025, situasi diprediksi makin memburuk. Sekitar 641.000 orang menghadapi kelaparan ekstrem (IPC Fase 5). Lebih dari 1,14 juta orang diperkirakan masuk dalam kategori darurat (IPC Fase 4).
IPC juga mencatat setidaknya 132.000 anak balita diperkirakan menderita malanutrisi akut pada tahun depan, termasuk 41.000 anak dalam kondisi parah dengan risiko kematian tinggi.
Kepala Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB, Tom Fletcher, menuding Israel menjadi penyebab utama krisis pangan tersebut. "Ini kelaparan yang sebenarnya bisa kita cegah jika kita diizinkan. Namun, makanan menumpuk di perbatasan karena penghalang sistematis oleh Israel," ucap Fletcher di Jenewa.
Israel membantah klaim tersebut. "Lebih dari 100.000 truk bantuan telah memasuki Gaza sejak awal perang dalam beberapa pekan terakhir. Gelombang bantuan besar-besaran membanjiri Jalur Gaza dengan bahan pangan pokok yang menyebabkan penurunan tajam harga pangan," ungkap Kementerian Luar Negeri Israel.
Meski demikian, organisasi kemanusiaan menegaskan jumlah bantuan tetap jauh dari cukup. Mekanisme distribusi bantuan yang baru, didukung AS dan Israel, juga menuai kritik setelah menimbulkan korban sipil di sekitar pusat distribusi di Gaza.
Ini menjadi pertama kali kelaparan terkonfirmasi di Timur Tengah. Sebelumnya, IPC hanya mengeluarkan status serupa di Somalia (2011), Sudan Selatan (2017, 2020) dan sebagian wilayah Darfur, Sudan (2023).
Para ahli memamparkan bahwa kelaparan ditetapkan jika memenuhi tiga syarat, yakni 20% rumah tangga tidak punya akses makanan, setidaknya 30% anak balita mengalami malanutrisi akut, serta tingkat kematian akibat kelaparan mencapai dua orang dewasa atau empat anak balita per 10.000 penduduk per hari.
Dalam laporan tambahan, Komite Peninjauan Kelaparan (FRC) menyebut data dari 1 Juli hingga 15 Agustus menunjukkan ambang batas kelaparan telah terlampaui, meskipun data mortalitas sulit dikumpulkan akibat terbatasnya akses ke Gaza.
Penulis buku Mass Starvation, Alex de Waal, menegaskan sebagian besar kematian anak-anak di Gaza disebabkan kombinasi malanutrisi dan infeksi. "Tidak ada pedoman standar bagi dokter untuk mengklasifikasikan penyebab kematian sebagai malnutrisi dan bukan infeksi," pungkasnya. (CBS News/I-2)