
Pemerintah saat ini tengah mendorong seluruh produk yang dipasarkan, termasuk makanan dan minuman di hotel, untuk memiliki sertifikasi halal. Langkah ini bukan hanya menjadi bagian dari regulasi yang harus dipatuhi, tetapi juga bentuk komitmen terhadap konsumen Muslim yang membutuhkan kepastian kehalalan pada setiap sajian yang dikonsumsi.
Sertifikasi halal bagi restoran di hotel menjadi sangat penting mengingat hotel sering kali menjadi tempat persinggahan tamu dari berbagai latar belakang. Bagi tamu Muslim, ketersediaan makanan dan minuman halal bukan hanya soal pilihan, melainkan juga kebutuhan.
"Dapur makanan dan minuman restoran untuk hotel perlu sertifikat halal. Salah satu yang menjadi fokus untuk sertifikasi halal, yaitu dari bahan baku sampai produk sampai ke tangan konsumen harus halal dan suci. Kehalalan sendiri bukan hanya diliat dari produk akhir saja, melainkan juga dari proses pembuatannya,” kata Halal Partnership and Audit Services Director of LPPOM MUI, seperti dikutip dari laman resmi LPPOM, Senin (14/7).
Namun, hingga kini jumlah restoran hotel yang telah tersertifikasi halal masih terbatas. Hal ini berkaitan erat dengan ragam menu yang ditawarkan hotel, mengingat mereka juga melayani tamu internasional yang mungkin memiliki preferensi berbeda, termasuk konsumsi alkohol atau makanan non-halal.

Lantas, apakah restoran hotel yang juga menyajikan menu non-halal tetap bisa memperoleh sertifikasi halal?
Menurut Auditor LPPOM MUI, Desy Triyanti, hal itu dimungkinkan, asalkan dilakukan pemisahan lokasi secara ketat agar terhindar dari risiko kontaminasi.
"Bagi pelaku usaha hotel, penting untuk memahami bahwa menyediakan area halal bukan berarti kehilangan konsumen non-Muslim. Justru dengan pemisahan area, hotel dapat melayani kebutuhan kedua kelompok konsumen dengan baik," ujar Desy dikutip dari laman LPPOM, Senin (14.)
Menurut dia, sertifikasi halal di hotel tidak berlaku untuk keseluruhan area, melainkan hanya untuk ruang lingkup tertentu yang diajukan, seperti restoran, kafe, atau fasilitas lain. Hal ini berbeda dengan hotel syariah, yang menerapkan prinsip halal secara menyeluruh, termasuk tidak menyediakan alkohol, mengatur pakaian karyawan, hingga manajemen yang sesuai syariat Islam.

Misalnya, sebuah restoran di dalam hotel bisa saja sudah tersertifikasi halal, sementara bar atau restoran lainnya di hotel yang masih menjual alkohol tidak termasuk dalam cakupan sertifikasi.
Ia juga menegaskan pentingnya standar kebersihan dan kehalalan yang tinggi untuk area tersertifikasi, termasuk dalam pemilihan bahan baku dan peralatan dapur.
"Dalam area yang sudah tersertifikasi halal, tidak boleh ada menu daging babi atau minuman beralkohol. Semua peralatan, seperti kulkas, freezer, hingga piring dan alat penyaji, harus dipastikan bebas dari kontaminasi bahan non-halal," beber Desy.
Desy juga menekankan pentingnya proses pembersihan yang sesuai syariat, terutama jika sebelumnya alat makan digunakan untuk bahan non-halal. "Sebagai Muslim, kita tahu bahwa mencuci piring yang digunakan untuk menyajikan daging babi, misalnya, tidak cukup hanya dengan mencuci biasa. Pencuciannya harus dilakukan tujuh kali sesuai syariat," jelasnya.
Sejauh ini, lebih dari 50 hotel di Indonesia telah memiliki restoran yang tersertifikasi halal. Hal ini menandakan adanya kesadaran yang semakin besar dari pelaku industri perhotelan untuk memenuhi kebutuhan konsumen Muslim sekaligus mematuhi peraturan yang berlaku.