KEGERAMAN Suciwati tak terbendung manakala melihat rekaman video kendaraan taktis milik Korps Brigade Mobil Polri melindas seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, hingga tewas pada Kamis, 28 Agustus lalu.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Istri pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) Munir Said Thalib itu mengatakan, andai mendiang suaminya masih hidup dan mengetahui peristiwa itu, Munir akan dengan lantang menyatakan peristiwa tersebut sebagai kasus pelanggaran HAM.
"Cak Munir akan mengadvokasi dan menuntut pertanggung jawaban negara, bukan sekadar pada institusi dan oknum," kata Suciwati saat dihubungi Tempo, Rabu, 3 September 2025.
Dia menjelaskan, negara harus bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. Tak hanya Affan yang jadi korban, sejumlah nyawa juga melayang diduga karena aksi brutal aparat di lapangan ketika mengamankan demonstrasi sepanjang 25 Agustus-1 September 2025.
Menurut Suciwati, Munir akan mengatakan tindakan represif aparat itu merupakan impunitas rezim dan Polri yang tak kunjung dibenahi. Alasannya, kekerasan yang dilakukan aparat bukan sekali ini saja terjadi, namun berulang. Salah satu contohnya tragedi Kanjuruhan pada 2022.
"Munir akan sampaikan ada yang salah di sistem kepolisian. Lalu, siapa yang harus bertanggung jawab? Tentu Kapolri dan atasannya, yaitu presiden," ujar Suciwati.
Sebanyak tujuh personel Brimob yang melindas Affan saat ini tengah menjalani sidang etik oleh Komisi Kode Etik Profesi (KKEP) Polri. Majelis menjatuhkan sanksi pemecatan dengan tidak hormat kepada Komandan Batalyon Resimen 4 Korps Brimob, Komisaris Cosmas Kaju Gae.
Suciwati mengatakan, kendati personel tersebut tengah menjalani sidang etik, jika Munir masih hidup, tentu mantan direktur Imparsial itu akan mendorong proses hukum kepada para pelaku agar diadili di pengadilan sipil.
Alasannya, agar proses hukum dapat dimonitoring secara terbuka dan akuntabel. "Munir akan mendorong masyarakat bersolidaritas agar hukum berpihak pada masyarakat kecil, tidak boleh lagi ada impunitas terhadap kasus kekerasan," ucap dia.
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid berpendapat serupa dengan Suciwati. Salah satu kolega Munir ini mengatakan, andai sahabatnya masih hidup, tentu dia akan memberikan pendampingan kepada keluarga korban untuk memperoleh penanganan kasus yang adil.
"Yang saya bayangkan, tentu Munir akan membentuk tim investigasi lalu mengumumkan temuannya dengan cepat untuk memberikan rasa keadilan pada keluarga korban," ujar Usman.
Munir telah mengadvokasi berbagai kasus pelanggaran HAM seperti kasus Marsinah hingga penanganan kasus penculikan aktivis 1997/1998.
Menurut Usman, jika Munir ada saat ini, tentu ia akan mengadvokasi tewasnya Affan dan mendorong penanganan kasus ini ke pengadilan ad hoc HAM. "Munir akan meminta bukan hanya Polri, tetapi juga negara untuk bertanggung jawab dalam kasus ini," kata dia.
Munir Said Thalib tewas di ketinggian 40 ribu kaki di langit Eropa dalam perjalannya menuju Bandar Udara Schiphol Amsterdam, Belanda pada 7 September 2004. Ia tewas setelah meminum jus jeruk yang telah dicampuri senyawa arsenik oleh Pilot Garuda Indonesia, Pollycarpus Budihari Priyanto.
Pembunuhan Munir ditengarai melibatkan figur-figur penting di negara ini. Presiden SBY sempat membentuk Tim Pencari Fakta atau TPF untuk mengungkap siapa dalang pembunuhan Munir. Namun, hingga lengser, dokumen TPF itu tak pernah diumumkan kepada publik.
Hingga 21 tahun berlalu, kasus pembunuhan Munir masih menyisakan tanda tanya besar. Presiden Joko Widodo yang sempat menjanjikan bakal menuntaskan kasus ini. Tapi selama dua periode menjabat, Jokowi tak pernah menuntaskan kasus pembunuhan Munir.
Kini, kekuasaan berganti ke tangan Prabowo Subianto. Suciwati bersama pegiat HAM lainnya mendesak tanggung jawab negara dalam mengungkap dalang kasus pembunuhan salah satu pendiri Kontras tersebut.