Sejauh mata memandang di perairan Belinyu, Kabupaten Bangka, bertengger sederet Ponton Isap Produksi (PIP) dan Kapal Isap Produksi (KIP) yang hilir-mudik mengeruk timah dari dasar lautan.
Sayangnya, masih ada saja PIP maupun KIP beroperasi di kawasan Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah (Persero) Tbk (TINS) tersebut tidak memiliki surat perjanjian dengan perusahaan, alias penambang ilegal.
kumparan berkesempatan menjelajahi perairan Belinyu, Sabtu (23/8), dan melihat beberapa PIP milik penambang ilegal yang baru dirazia. Hampir seluruh aset tersebut ditinggalkan oleh pemiliknya, bahkan banyak yang terlihat sudah lama tidak terurus.
PIP penambang ilegal umumnya menggunakan kerangka kayu yang dirakit sederhana, namun di dalamnya terdapat mesin pengisap yang berfungsi menyedot pasir timah dari bawah perairan. Meski alat seadanya, dalam kurun waktu singkat, sekian ton timah bisa saja dikantongi penambang ilegal.
Aksi tangkap dan kejar-kejaran dengan penambang ilegal masih menjadi pekerjaan besar bagi PT Timah hingga saat ini. Maraknya keberadaan PIP atau KIP ilegal tidak hanya merugikan perusahaan, namun juga negara karena kehilangan potensi pendapatan dari produksi timah.
Direktur Pengembangan Usaha PT Timah, Suhendra Yusuf Ratuprawiranegara, mengakui pengawasan perusahaan masih lemah terhadap praktik penambangan ilegal di wilayah operasional raksasanya.
PT Timah tercatat menguasai sebanyak 127 IUP timah dengan luas wilayah mencapai 288.716 hektare di darat dan 184.672 hektare di laut, dan tersebar di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung hingga Provinsi Kepulauan Riau.
"Sampai hari ini menjadi tanggung jawab kami di BoD dan insan PT Timah. Mungkin juga dari sisi pengawasan dan lain sebagainya, saat dulu sampai hari ini agak sedikit lemah, itu harus kami akui," katanya saat berbincang bersama media di Pangkalpinang, Provinsi Bangka, dikutip Senin (25/8).
Suhendra menilai bahwa pertambangan timah ilegal bagaikan warisan yang dilestarikan secara turun menurun, bahkan sudah menjadi pola pikir (mindset) yang mengakar di masyarakat setempat, sehingga praktiknya sulit diberantas.
Hal ini terjadi sejak pasca reformasi, lanjut dia, ketika pemerintah membuka keran pertambangan timah kepada pihak swasta maupun masyarakat selain PT Timah yang sebelumnya memiliki hak eksklusif.
"Saya nilai ini sudah menjadi mindset. Pada saat keran penambangan dibuka oleh pemerintah pasca reformasi sampai hari ini, mulai marak dan sudah menjadi mindset. Kemudian, maaf saya bisa katakan, ini sudah menjadi culture (budaya)," jelas Suhendra.
Pada akhirnya, Suhendra menyebutkan solusi pemberantasan pertambangan timah ilegal tidak hanya sekadar razia atau pidana, namun harus melibatkan perubahan perspektif pola pikir dan filosofi masyarakat.
"Mengubah culture itu tidak gampang, ini saya melihatnya perspektif dari filosofi, mengapa hal ini terjadi," imbuhnya.
Suhendra pun menegaskan, sudah saatnya perusahaan melakukan penataan kembali terhadap tata kelola pertambangan yang baik, alias good mining practice. Di sisi lain, edukasi kepada masyarakat setempat juga dinilai sangat krusial.