Lampung Geh, Lampung Tengah — Sekitar 3.700 Kepala Keluarga (KK) warga dari Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) SP1, SP2, dan SP3 di Way Terusan, Kecamatan Bandar Mataram, Kabupaten Lampung Tengah, menggelar aksi unjuk rasa menuntut kejelasan status wilayah mereka, di Kantor Bupati Lampung Tengah, pada Rabu (17/7).,
Aksi ini dimulai dengan longmarch dari Tugu Kopiah menuju Kantor Bupati Lampung Tengah dan mendapat pengawalan aparat kepolisian. Massa tiba sekitar pukul 10.45 WIB menggunakan sekitar 15 truk dan mobil pikap.
Mereka membawa berbagai spanduk dan poster yang berisi tuntutan agar wilayah SP1, SP2, dan SP3 segera ditetapkan sebagai desa definitif.
Warga juga didampingi oleh mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Lampung yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Peduli Masyarakat Transmigrasi, seperti BEM Universitas Malahayati, Universitas Lampung (Unila), UIN Raden Intan Lampung, dan STKIP.
Salah satu warga SP2, Tata Dinata dalam orasinya menyampaikan, kekecewaannya terhadap pemerintah daerah yang dinilai abai selama puluhan tahun.
“Sudah 28 tahun kami tinggal di SP1, SP2, dan SP3 Way Terusan, tapi belum juga kami diakui sebagai desa definitif. Kami hanya ingin setara dengan desa lain. Kami ingin punya jalan yang bagus, fasilitas yang layak, dan status yang jelas sebagai warga negara Indonesia,” tegasnya.
Tata juga menyebut, warga sudah terlalu lama menanti kepastian dan tidak ingin lagi diberi harapan palsu oleh pemerintah.
“Kami datang dari ujung Lampung Tengah, di dalam kawasan hutan PT SGC. Untuk sampai ke kantor bupati ini, kami butuh waktu empat jam — dua jam melintasi kawasan perusahaan dan dua jam di jalan umum. Itu belum termasuk risiko dan kondisi jalan yang rusak,” katanya.
Ia berharap agar pemerintah benar-benar menunjukkan komitmennya.
“Kami sudah terlalu sering dijanjikan. Yang kami inginkan hanya satu, kami ingin merdeka, ingin diakui, dan punya hak administratif seperti warga desa lainnya," ungkapnya
Sementara itu, Mbah Ngadiman, salah satu tokoh masyarakat yang dituakan di kampung tersebut, menjelaskan bahwa program transmigrasi lokal dilakukan sejak 11 November 1997.
“Kami diberangkatkan dalam program transmigrasi lokal oleh pemerintah, bekerjasama dengan PT Gula Putih Mataram. Sejak itu, kami hidup mandiri. Kami punya ladang, sekolah, masjid, dan semua sarana yang dibutuhkan. Tapi sampai sekarang, status kami belum juga jelas,” kata Mbah Ngadiman.
Ia juga yang mengaku membawa sekitar 1000 warga dalam aksi ini dari tiga kampung yaitu Karya Makmur, Terusan Makmur, dan Tri Tunggal Jaya (SP1, SP2, dan SP3).
Aspirasi warga juga disuarakan keras oleh para mahasiswa. Seorang Mahasiswa dari Universitas Malahayati, Agung menyampaikan kekecewaannya terhadap sikap pemerintah daerah.
“80 tahun Indonesia merdeka, tapi warga SP1, SP2, dan SP3 belum merdeka secara administratif. Setiap momentum politik, mereka dijadikan alat untuk menggalang suara. Tapi setelah menang, para pemimpin daerah lupa. Tidak ada kontribusi untuk kampung ini. Yang ada hanya janji kosong!” teriak A itu Agung dalam orasinya.
Dalam tuntutannya, warga meminta dua hal utama: