BERBINCANG selama 90 menit, Suciwati menceritakan masa-masa muda mendiang suaminya, Munir Said Thalib, terutama saat mantan Direktur Imparsial itu duduk di bangku semester awal perkuliahan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.
Suciwati mengatakan Munir merupakan kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang aktif, pendukung pemerintah dan memiliki paham ekstrem. Paham yang dianutnya, kata dia, tak jarang membuat Munir dan kawannya di HMI harus terlibat perselisihan dengan organisasi lain.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
"Sangat radikal, dia melabeli pembela Islam dengan pandangan garis keras," kata Suciwati kepada Tempo, Selasa, 26 Agustus 2025.
Namun, pandangan dan pemahaman Munir seiring waktu berubah. Salah satu yang mengubahnya adalah pertemuan dengan rekan seangkatan Munir di bangku perkuliahan, yaitu Bambang Sugianto.
Menurut Suciwati, Bambang semula merupakan lawan Munir karena berbeda organisasi. Bambang, kata dia, merupakan kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia atau GMNI yang berideologi nasionalis.
Dalam persamuhan itu, kata Suciwati, Munir sempat mengajak diskusi Bambang dengan pembahasan buku-buku yang menjadi referensi. Pada momen ini, Munir sempat ditanyai oleh rekannya itu ihwal substansi dari buku-buku yang telah dibacanya.
"Saat itu Cak (Munir) diam karena tidak tahu. Tetapi, di situlah jadi momentum titik balik seorang Munir," ujar Suciwati.
Dalam buku "Mencintai Munir", Suciwati juga menjelaskan, arah pandangan suaminya itu berubah saat bertemu mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang, Malik Fajar, salah satu dosen yang kerap dikunjungi Munir berdiskusi pada 1985 atau saat semester kedua perkuliahan.
Saat itu, Suciwati bercerita, Munir dikritik habis-habisan oleh Malik Fajar lantaran kerap menggunakan embel-embel pembela Islam untuk melegitimasi paham ekstrem yang dianutnya. "Allah Subhanahuwata'ala tidak membutuhkan pengawal seperti kalian," tulis Suciwati menirukan ucapan Malik Fajar kala itu.
Dari persamuhan tersebut, Munir mulai meninggalkan paham ekstremnya dan berubah cara pandang dalam melihat agama dan perjuangan. Bahkan, ruang Komisariat HMI di kampus pun dipindahkan ke area luar di Jalan Kertosariro agar diskusi bisa berlangsung lebih intens.
"Diskusinya saat itu dengan orang yang sebelumnya menjadi lawan, ada Bambang Sugianto, Didit, dan Donny Danardono," kata Suciwati.
Hal lain yang cukup mengispirasi arah perjuangan Munir, menurut Suciwati, adalah ketika mendiang suaminya membaca buku terkait revolusi buruh di Cile yang ditulis Arif Budiman. Buku ini mendorong Munir untuk terjun langsung pada isu perburuhan setelah lulus kuliah. "Setelah peristiwa itu Munir bermetamorfosa menjadi sangat lebih baik lagi," kata Suciwati.
Semasa hidupnya, Munir tercatat pernah mengadvokasi kasus perburuhan, salah satunya, kasus pembunuhan aktivis buruh Marsinah dan PHK pada 1993. Saat itu, bersama organisasi masyarakat sipil lainnya, Munir membentuk Komite Solidaritas untuk Marsinah atau KSUM.
Salah satu sahabat Munir, Mohammad Choirul Anam, mengatakan besarnya fokus Munir kepada isu perburuhan memberikan dampak positif kepada para kader HMI Malang saat itu. HMI Malang bahkan dianggap memiliki fokus yang berbeda dari HMI di wilayah lain.
Menurut Anam, Munir sering hadir ke sekretariat HMI Malang untuk berdiskusi dan mengajak kader lain untuk turun menemui buruh dan petani. "Saat itu, sibuk kami di HMI Malang bukan berdiskusi dengan kakanda yang jadi birokrat, tapi dengan buruh dan petani karena ajakan Munir," ujar Anam, Kamis, 28 Agustus 2025.
Setelah memutuskan hijrah ke Jakarta pada 1998 dan turut mendirikan Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan), Munir juga masih melekat dengan advokasi perburuhan. Saat itu, Munir mengadvokasi buruh migran Indonesia yang dideportasi dari Malaysia dengan mendorong gugatan warga negara atau citizen lawsuit.
"Meski saat itu gugatannya kalah di tingkat banding, tapi itu jadi warisan berharga Munir sebagai terobosan hukum di Indonesia untuk kasus buruh migran," kata mantan Komisioner Komisi Nasional HAM tersebut.
Kini, Munir telah tiada selama 21 tahun. Munir meninggal di ketinggian 40 ribu kaki di langit Eropa dalam perjalannya menuju Amsterdam, Belanda pada 7 September 2004. Munir tewas setelah meminum jus jeruk yang telah dicampuri senyawa arsenik oleh Pilot Garuda Indonesia, Pollycarpus Budihari Priyanto.
Pollycarpus telah menjalani hukuman atas perbuatannya, namun dalang di baliknya belum terungkap. Kematian Munir ditengarai melibatkan figur-figur penting di negara ini. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sempat membentuk Tim Pencari Fakta atau TPF untuk mengungkap siapa dalang pembunuhan Munir. Namun, hingga lengser, dokumen TPF itu tak pernah diumumkan kepada publik.
Presiden Joko Widodo yang sempat menjanjikan bakal menuntaskan kasus ini pun gagal. Dua periode menjabat, Jokowi tak pernah menuntaskan kasus pembunuhan Munir. Kekuasaan berganti ke tangan Prabowo Subianto. Suciwati bersama pegiat HAM lainnya mendesak tanggung jawab negara dalam mengungkap dalang kasus pembunuhan salah satu pendiri Kontras tersebut.