KONFLIK Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah Republik Indonesia berhasil menemui jalan damai setelah disepakatinya Perjanjian Helsinki pada 15 Agustus 2005.
Ketidakpuasan dan ketidakadilan yang dirasakan Aceh melalui kebijakan yang ditetapkan pemerintah pusat merupakan faktor utama terjadinya konflik dengan GAM. Keresahan yang dirasakan masyarakat di Aceh memicu perlawanan dan pemberontakan sejumlah tokoh Aceh.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Konflik tersebut berakhir setelah gempa dan tsunami Aceh pada 26 Desember 2004. Para aktor yang bertikai mengambil jalan tengah untuk menyelesaikan konflik supaya proses rekonstruksi Aceh usai tsunami dapat berjalan dengan baik.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Hamid Awaluddin saat itu dan juga atas nama Pimpinan GAM Malik Mahmud Al Haythar menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) sebagai kesepakatan damai di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005.
Dengan disepakatinya perjanjian perdamaian tersebut, maka ribuan senjata GAM diserahkan sendiri oleh mereka untuk dimusnahkan, disusul dengan dibubarkannya Tentara Neugara Aceh (TNA) sebagai sayap militer GAM. Berdasarkan kesepakatan, jika nantinya kembali ditemukan senjata di Aceh, maka senjata tersebut akan dianggap senjata ilegal.
Tokoh di Balik Perjanjian Helsinki
Mantan Wakil Presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla (JK) merupakan salah satu tokoh penyambung perdamaian antara pemerintah Indonesia dengan GAM. JK bercerita rintisan upaya perdamaian dimulai pada 2002 saat politikus tersebut menjabat sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat di bawah kabinet Presiden Megawati.
JK lantas memasukkan upaya rekonsiliasi konflik Aceh menjadi target prioritas di tahun pertama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) atas pertimbangan historis dan kepentingan nasional.
“Kalau kita ingin bangun negeri ini, tentu kalau ada konflik jadi ada halangan. (Terlebih) konfliknya antara kita sendiri, antara Indonesia dengan rakyat Indonesia,” ujarnya kepada Tempo, Sabtu, 9 Agustus 2025. JK juga mengatakan konflik yang terjadi selama tiga dekade di Aceh mendesak diselesaikan karena telah menimbulkan hampir 20 ribu korban.
Tim negosiator yang diutus JK saat itu terdiri dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaluddin, Menteri Komunikasi dan Informasi Sofyan Djalil, Deputi Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Farid Husain, Direktur Keamanan dan HAM Departemen Luar Negeri Gusti Agung Wesaka Pudja, serta Deputi Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Usman Basyah.
Para tokoh tersebut melakukan perundingan rahasia di Helsinki dalam beberapa putaran sejak Januari hingga Agustus 2005. Ketika ditemui di kantornya di kawasan Senayan, Jakarta Pusat, Sofyan Djalil mengatakan pembicaraan antara pemerintah dan GAM berlangsung sengit karena keinginan Aceh memisahkan diri dari Indonesia demikian besar.
“Pak JK kasih peraturan. Mereka boleh minta apapun kecuali kemerdekaan,” kata Sofyan Djalil kepada Tempo pada Senin, 11 Agustus 2025.
Sebagai balasannya, pemerintah menuntut agar GAM mengakui kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan meletakkan senjata mereka. Kedua hal itu termasuk isi dalam nota kesepahaman perjanjian Helsinki yang ditandatangani oleh eks Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin, eks pimpinan GAM Malik Mahmud Al Haythar, serta Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative Martti Ahtisaari.
Sofyan mengemukakan keleluasaan yang diberikan oleh pemerintah kepada GAM didorong keinginan untuk menyelesaikan masalah Aceh dengan cara terhormat. Bukan melalui pengadilan ataupun militeristik kendati GAM merupakan gerakan separatisme.