Jakarta, CNBC Indonesia - Para pengembang mengusulkan skema baru, yakni sewa beli (rent to own/RTO) yang dinilai mampu menjadi solusi dalam pemenuhan kebutuhan hunian layak huni bagi beragam segmen, termasuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dengan gaji upah minimum dan generasi milenial. Khusus bagi MBR, skema RTO dianggap ampuh dalam memfasilitasi kelompok masyarakat pekerja mandiri yang dianggap tidak layak mendapat aliran kredit pemilikan rumah (KPR) dari perbankan (nonbankable).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pekerja sektor informal jumlahnya sangat tinggi, yakni 83,42 juta pada 2024 atau sekitar 59,62% dari total jumlah pekerja di Indonesia. Program skema RTO dibuat demi membantu MBR untuk mendapatkan hunian idaman secara mudah dan murah, khususnya MBR yang belum berpendapatan tetap,serta mempunyai keterbatasan dana untuk membayar uang muka.
"Tahap awal, para MBR menyewa terlebih dahulu dalam rentang waktu tertentu, misal dua tahun. Dari sebagian cicilan sewa dihimpun sebagai uang muka yang dapat dimanfaatkan ketika beralih ke KPR subsidi," tutur Ketua umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (DPP Apersi) Junaidi Abdillah dalam keterangannya kepada CNBC Indonesia, Senin (4/8/2025).
Skema RTO menyasar kalangan masyarakat yang belum memiliki akses sistem perbankan untuk mendapatkan rumah. Apalagi di tengah riuhnya perkembangan metode belanja dengan membayar tanpa kartu kredit (pay later) dan pinjaman daring (pindar), Skema ini juga dapat membantu MBR yang mengalami sangkutan pembayaran pay later atau pindar.
Foto: Muhammad Luthfi Rahman
Awal Desember 2017, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mencatat capaian Program Satu Juta Rumah sebanyak 765.120 unit rumah, didominasi oleh pembangunan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) sebesar 70 persen, atau sebanyak 619.868 unit, sementara rumah non-MBR yang terbangun sebesar 30 persen, sebanyak 145.252 unit.Program Satu Juta Rumah yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo, sekitar 20 persen merupakan rumah yang dibangun oleh Kementerian PUPR berupa rusunawa, rumah khusus, rumah swadaya maupun bantuan stimulan prasarana dan utilitas (PSU), 30 persen lainnya dibangun oleh pengembang perumahan subsidi yang mendapatkan fasilitas KPR FLPP, subsisdi selisih bunga dan bantuan uang muka. Selebihnya dipenuhi melalui pembangunan rumah non subsidi oleh pengembang.Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Junaidi Abdillah mengungkapkan, rumah tapak masih digemari kelas menengah ke bawah.Kontribusi serapan properti oleh masyarakat menengah ke bawah terhadap total penjualan properti mencapai 70%.Serapan sebesar 200.000 unit ini, akan terus meningkat pada tahun 2018 menjadi 250.000 unit.
"Bahkan, skema RTO juga sekaligus bisa menjadi solusi bagi kelompok masyarakat yang terhambat ketentuan Sistem Layanan Informasi Keuangan Otoritas Jasa Keuangan atau SLIK OJK saat mengajukan KPR subsidi. Tentu, selama masa sewa hambatan SLIK OJK-nya diselesaikan," ujar Junaidi.
Skema sewa beli juga mampu mengatasi backlog hunian dan backlog kepemilikan hunian yang saat ini angkanya cukup tinggi. Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) pernah menyatakan bahwa mengutip data hasil Susenas tahun 2023, jumlah backlog kepemilikan hunian mencapai 9,9 juta kepala keluarga.
"Praktis, skema RTO yang berjalan secara massif akan ikut mendukung pencapaian Program 3 Juta Rumah yang digulirkan oleh pemerintah," sebutnya.
Kehadiran skema RTO dapat berjalan lebih cepat dan berdampak lebih luas kepada MBR saat semua para pemangku kepentingan (stakeholders) perumahan ikut terlibat, bahu membahu. Terpenting, skema ini harus segera berjalan, tak sebatas wacana.
"Kolaborasi diantara para pemangku kepentingan sangat dibutuhkan agar skema RTO bergulir lebih cepat dan tepat sasaran," ujar Junaidi.
(fys/wur)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Hore! Warga RI Kategori Ini Berhak Beli Rumah Subsidi, Cek Syaratnya