Jakarta, CNBC Indonesia - Tumpukan tetes tebu (molase) dari pabrik gula dikhawatirkan semakin meluber dan tak terserap pasar. Harga pun kini sudah anjlok hingga hanya sekitar Rp1.000 per kilogram (kg), jauh turun dari posisi sebelumnya Rp2.500-Rp3.000 per kg. Penyebabnya bukan semata soal produksi yang melimpah, melainkan karena industri etanol dalam negeri memilih menahan diri.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Spirtus dan Ethanol Indonesia (Apsendo) Izmirta Rachman mengungkapkan, para produsen etanol tidak berani menyerap molase petani lantaran khawatir pasarnya bakal hilang dihantam impor etanol murah.
"Jadi kendalanya adalah di domestik ini, industri etanol kan membeli tetesnya petani dan tetesnya pabrik gula. Pada saat giling kami serap, kami itu punya stok yang banyak, tapi sekarang kami nggak berani menyerap," ungkap Izmirta saat ditemui usai Seminar Ekosistem Gula Nasional di Jakarta, Rabu (27/8/2025).
Menurutnya, penyebab utama kekhawatiran industri adalah kebijakan baru yang membebaskan impor etanol tanpa izin khusus (Persetujuan Impor atau disingkat PI). Hal itu membuat pasar domestik terbuka lebar bagi produk etanol luar negeri, terutama dari Pakistan dan Amerika Serikat (AS).
"Karena kami takut dengan banjirnya impor dari luar negeri, nanti siapapun bisa mengimpor, termasuk Anda. Nanti semua pembeli etanol kami, dari industri farmasi, obat-obatan, kosmetik, akan langsung impor dari luar negeri. Karena nggak ada lagi PI. Everybody can import," tegasnya.
Izmirta menyebutkan, kondisi ini membuat sekitar 660 ribu ton tetes tebu petani yang seharusnya diserap industri justru dibiarkan. "Kami tidak berani membeli tetes saat giling yang banyak sekarang, karena kami khawatir continuity masa depan industri kami, karena ancaman barang impor," imbuh dia.
Perbedaan harga semakin memperparah masalah. Etanol impor disebut bisa dijual lebih murah sekitar Rp2.000 per liter dibanding produksi dalam negeri. "Sekarang misalnya etanol (produk lokal) di harga Rp10.600 per liter, kalau harga etanol impor sekitar Rp8.000-an per liter. Bisa Rp2.000 lebih murah," jelas Izmirta.
Untuk itu, ia menilai solusi mendesak adalah merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) nomor 16 tahun 2025 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.
"Solusinya satu, kembalikanlah Permendag 16/2025 atau mengecualikan terkait dengan pasar domestik yang HS Code non-energy supaya tidak dibebaskan PI-nya. Dan yang kedua, setuju program mandatori dijalankan. Sehingga bergairahlah kapasitas yang tidak terpakai pabrik etanol untuk menjadi bagian dari program E5 (bio etanol 5%)," katanya.
Foto: Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Soemitro Samadikoen saat ditemui usai Seminar Ekosistem Gula Nasional di Jakarta, Rabu (27/8/2025). (CNBC Indonesia/Martyasari Rizki)
Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Soemitro Samadikoen saat ditemui usai Seminar Ekosistem Gula Nasional di Jakarta, Rabu (27/8/2025). (CNBC Indonesia/Martyasari Rizki)
Hal senada juga disampaikan Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen mengingatkan dampak serius dari molase yang tidak terserap. Ia menilai, kebijakan impor bebas akan membuat molase pabrik gula tidak laku, yang berujung mengganggu proses produksi tebu.
"Kalau permendag 16/2025 itu betul-betul diperlakukan tanggal 29 Agustus, jangankan tanggal 29, sekarang dampaknya dia sudah terasa. Yaitu molase kita tidak ada yang beli," kata Soemitro dalam kesempatan yang sama.
Soemitro mengingatkan, molase berbeda dengan gula yang bisa disimpan lama. Jika dibiarkan menumpuk, molase bisa berubah sifat, bahkan berisiko menimbulkan pencemaran lingkungan.
"Molase disimpan lebih dari 2-3 bulan bisa berubah. Bahkan kalau itu tidak segera ditangani atau dikeluarkan, itu bisa meledak. Kalau meledak bisa juga terjadi pencemaran lingkungan," tegasnya.
APTRI mendesak agar pemerintah meninjau ulang aturan baru tersebut. "Saya minta dengan segera, melalui forum ini Menteri Perdagangan arif dan bijaksana. Jangan berlakukan Permendag 16/2025 itu, kembalilah dulu pada Permendag 8/2024. Dengan demikian kita perbaiki semuanya, yang itu tidak merugikan petani maupun pelaku usaha lain," pungkas Soemitro.
Foto: Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Soemitro Samadikoen saat ditemui usai Seminar Ekosistem Gula Nasional di Jakarta, Rabu (27/8/2025). (CNBC Indonesia/Martyasari Rizki)
Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Soemitro Samadikoen saat ditemui usai Seminar Ekosistem Gula Nasional di Jakarta, Rabu (27/8/2025). (CNBC Indonesia/Martyasari Rizki)
(dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Masuk Puncak Giling Tebu, Pemerintah Siapkan Rp1,5 T Beli Gula Petani