Tanah Ibu dan Perjuangan Perempuan Masyarakat Adat Rendu

4 hours ago 2
informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat informasi penting berita penting kabar penting liputan penting kutipan penting informasi viral berita viral kabar viral liputan viral kutipan viral informasi terbaru berita terbaru kabar terbaru liputan terbaru kutipan terbaru informasi terkini berita terkini kabar terkini liputan terkini kutipan terkini informasi terpercaya berita terpercaya kabar terpercaya liputan terpercaya kutipan terpercaya informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online

PADA peringatan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) 2025, Hermina Mawa (51) kembali mengenang bagaimana pembangunan Waduk Lambo di Nusa Tenggara Timur, perlahan mengikis kehidupan masyarakat adat di tempat ia tumbuh sejak remaja. Sabtu, 9 Agustus lalu, di Kasepuhan Guradog, Kecamatan Curugbitung, Kabupaten Lebak, Banten, perempuan yang akrab disapa Mama Mince itu bercerita tentang arti tanah bagi komunitasnya. “Bagi kami, tanah adalah Ibu,” tuturnya.

Berjarak sekitar 2.300 kilometer dari tempat ia berasal, Hermina menceritakan bagaimana kondisi kebun, ternak, dan segala yang hidup di atasnya berangsur hilang. “Kalau yang senasib pasti menangis, dan memberi saya support,” kata dia.

Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca

Dalam kurun delapan tahun terakhir, ia dan para mama di Desa Rendubutowe, Kecamatan Aesa Selatan, Nagekeo, Nusa Tenggara Timur berjuang mempertahankan tanah ulayat mereka dari pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Waduk Lambo. 

Pembangunan Waduk Lambo merupakan wacana yang kembali mengemuka setelah terkubur cukup lama. Pembangunan di Lowo Se, tanah hak ulayat masyarakat adat Rendu, Ndora, dan Lambo ini mulai bergulir pada 2001. Namun kala itu, penolakan dari masyarakat setempat langsung bergolak hingga pemerintah pusat membatalkan rencana tersebut.

Lantas pembangunan kembali muncul empat belas tahun kemudian. Penolakan masih terjadi. Menurut Hermina, masyarakat sempat menawarkan lokasi alternatif untuk pembangunan waduk sehingga tidak mengusik tanah ulayat dan tempat tinggal masyarakat. Namun seiring waktu, pemerintah melalui pihak kontraktor bahkan melibatkan aparat saat melakukan survei lokasi. Sejumlah bentrok pun terjadi.

September 2021, Hermina masuk dalam daftar enam orang yang dipanggil untuk mengikuti pemeriksaan oleh Kepolisian Resor Nagekeo ihwal keterlibatannya menolak pembangunan Bendungan Mbay Lambo di Lowo Se. Pada 4 Oktober 2021, Hermina juga sempat diborgol aparat saat menggelar aksi penolakan ritual di titik nol proyek Waduk Lambo. “Saya diborgol, masyarakat ditangkap polisi, yang lebih saya ingat, kehidupan saya sudah hilang.”

Pada Desember 2021 juga sempat kembali ada bentrok dengan aparat yang membuat sejumlah mama melepas pakaian dan bertelanjang dada akibat ada kekerasan yang mereka terima. Setidaknya sejak 2016 hingga April 2024 perjuangan para mama itu berlangsung.

Permepuan adat suku Rendu, Hermina Mawa (tengah) saat menghadiri Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) 2025 di Lebak, Banten. Dok. Pribadi

Kini, Hermina memang  tak lagi menempati rumah lamanya. Ia dan warga lain harus pindah ke kawasan relokasi, berjarak sekitar satu kilometer dari kampung yang sudah mereka tinggali turun-temurun. “Kami sudah relokasi sejak tahun lalu atas inisiatif bapak kepala desa,” tutur Hermina kepada Tempo di Bogor, Jawa Barat, Rabu, 13 Agustus 2025.

Meski sudah menetap di area baru, mereka masih tinggal di Dusun Malapoma, Desa Rendubutowe, Kecamatan Aesa Selatan, Kabupaten Nagekeo, NTT. Melakukan relokasi pada akhirnya bukan lagi pilihan. Pasalnya, pemerintah sudah harus segera membangun waduk yang semula ditargetkan rampung pada 2024. Pembangunan tertunda karena gelombang penolakan warga cukup besar sehingga proses pembangunannya molor dari rencana semula.

Lokasi tempat Hermina dan sejumlah warga Rendubutowe akan menjadi desa pertama yang terendam saat waduk sudah terbangun. Itu mengapa, Kepala Desa Rendubutowe, Yeremias Lele, akhirnya meminta pada pemangku adat untuk bisa merelokasi sejumlah kepala keluarga ke area tanah ulayat yang masih kosong dan belum digarap. Menurutnya, lokasi tersebut cukup aman sebagai tempat tinggal baru sejumlah warga walau masih dekat area waduk. “Masih aman karena elevasinya  416 meter dari permukaan laut. Sedangkan genangan ada pada 411,” tutur Yeremias.

Dalam sejumlah sosialisasi menurutnya tidak pernah ada pembahasan jelas soal relokasi. Sehingga menurut Yeremias, tidak nampak siapa yang semestinya bertanggung jawab untuk memindahkan warga terdampak. Belum lagi, pembahasan soal ganti rugi tanah pun belum tuntas.

Yeremias mengaku tidak pernah terlibat dalam bahasan penentuan nilai tanah. Ia mengakui penetapan nilai ganti rugi begitu rendah, Rp 30.500 per meter. Penghitungannya hanya berdasar luas tanah. Sedangkan rumah, ternak, pohon, tanaman pangan, termasuk kuburan keluarga dan leluhur tidak turut dihitung padahal semuanya memiliki nilai.

Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum Dwi Purwantoro menyebut proses pengadaan tanah untuk Waduk Lambo melalui skema ganti untung berupa uang tunai, sehingga masyarakat melakukan relokasi secara mandiri. “Artinya saat musyawarah bentuk ganti kerugian yang disepakati antara pemilik dan pelaksana pengadaan tanah adalah dalam bentuk uang,” tutur Dwi, pada Sabtu.

Menurutnya, proses pengadaan tanah tidak menghitung jumlah kepala keluarga, tetapi jumlah bidang tanah. Pemerintah menargetkan pembebasan 1.124 bidang dengan total luas 988,09 hektare. Dwi menjamin Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) bersertifikat menentukan nilai ganti kerugian melalui hasil appraisal. Namun, pemerintah menunda sebagian pembayaran karena harus memvalidasi dokumen kepemilikan tanah. “Untuk menghindari potensi kerugian negara, mengingat banyak dokumen kepemilikan tanah yang perlu dilakukan pencermatan.”

Sampai saat ini, pemerintah desa merelokasi sekitar 111 kepala keluarga. Masing-masing KK mendapatkan lahan 80 meter persegi untuk dimanfaatkan mendirikan rumah, menggarap kebun, dan memelihara ternak jika ada. Hermina, kini tinggal di rumah berkerangka dan dinding bambu milik mamanya, Imelda Dheta yang sudah sepuh. “Mama memang minta untuk kami tinggal bersama, jadi saya sendiri tidak membangun rumah,” tutur Hermina. Saat ini sudah ada 21 rumah yang sudah berdiri dan dibangun swadaya oleh masyarakat. "Dari 21 baru 11 rumah yang terisi. Sisanya masih tinggal di rumah lama," ujar dia.

Dari belakang rumahnya, Hermina bisa melihat bagaimana pembangunan waduk berlangsung. Tanah lapang yang dulunya hijau tempat sejumlah ternak dilepas untuk merumput, kini hanya jadi lapang gersang dengan sejumlah alat berat mengeruk dan meratakan tanah. Pepohonan pun perlahan berganti beton. Tiap memandang ke kawasan pembangunan waduk, dada Hermina kerap bergolak. “Sampai saat ini saya masih belum bisa pergi ke titik nol (sebutan untuk area pembangunan waduk),” tutur Hermina tercekat. “Saya masih belum rela,” tuturnya lagi.

Area relokasi masyarakat Dusun Malapoma, Desa Rendubutowe, Kecamatan Aesa Selatan, Nagekeo, Nusa Tenggara Timur. Yeremias Lele

Hermina bahkan masih mengingat bagaimana mama Imelda meraung saat perwakilan pihak PT. Brantas Abypraya, kontraktor pelaksana pembangunan Bendungan Lambo, datang ke rumah sekitar Juli tahun lalu. “Ketika orang-orang dari proyek ini datang ke rumah lama menyampaikan akan cabut pohon alpukat dan jeruk itu, mama menangis seperti ada orang yang meninggal,” ujar Hermina.

Selama tinggal di tempat relokasi menurut Hermina, Mama Imelda kerap bersedih. Namun ia akan menangis jika berkunjung ke rumah lama yang kini sudah kosong.

Baik hermina dan warga lainnya memang masih kerap bolak-balik ke rumah lama mereka. Ada yang menyicil angkut barang, ada pula yang masih melakukan sejumlah aktivitas seperti bertenun. Pasalnya, para mama belum bisa menenun di area relokasi karena belum mengadakan upacara adat. Sedangkan untuk melakukan upacara adat juga tidak mudah dan butuh biaya cukup besar. “Untuk relokasi dan kembali membangun rumah saja kami sudah sangat berat,” ujar Hermina.

Tenun dan Anyaman yang Turut Terusik

Para perempuan di Desa Rendubutowe memegang banyak peran penting dalam kehidupan sehari-hari. Di ladang, mereka menanam, berkebun, dan beternak selayaknya kegiatan yang banyak dilakukan para laki-laki. Di rumah, mereka mengurus keluarga dan menenun. “Ini hanya boleh dilakukan para perempuan saja,” tutur Rosina Wonga, 53 tahun.

Rosina juga merupakan warga Desa Rendubutowe. Namun lokasinya tinggal tidak termasuk area yang mengalami relokasi. Sehingga, sampai saat ini, Mama Ros, begitu ia biasa dipanggil, masih bisa menenun kain di rumah. Menurut Rosina, biasanya, kain tenun mereka buat setelah pulang dari kebun, di sela waktu luang, atau ketika hujan yang membuat mereka berdiam di rumah.

Namun, ketika konflik pembangunan waduk muncul, aktivitas menenun ikut berpindah tempat. Beberapa mama membawa alat tenun ke posko penjagaan. Di sana, di atas balai-balai bambu, mereka menenun sambil berjaga agar perwakilan perusahaan tidak bisa menerobos masuk untuk melakukan survei. Tempo menyaksikan hal tersebut langsung saat berkunjung ke posko penjagaan pada 2021. Saat itu para mama bergiliran jaga setelah paginya bekerja di ladang.

Rosina Wonga, 53 tahun, masyarakat adat Rendu sedang menenun di rumahnya di Dusun Malapoma, Desa Rendubutowe, Kecamatan Aesa Selatan, Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Ti...

Read Entire Article