Khairunnisa
Edukasi | 2025-09-08 02:09:07

Bicara tentang emansipasi perempuan, nama Kartini biasanya menjadi yang paling pertama teringat. Namun, tahukah kita bahwa jauh sebelum Kartini menuliskan gagasannya pada tahun 1899, ada sosok perempuan Minangkabau yang sudah lebih dahulu bergerak? Dialah Roehana Koeddoes, seorang pelopor pendidikan sekaligus jurnalisme perempuan yang memulai perjuangannya sejak tahun 1892, bahkan ketika usianya baru delapan tahun.
Masa Kecil dan Awal Perjuangan
Pada awal abad ke-19, kaum perempuan di banyak negara masih berada dalam kegelapan harapan, mulai dari diperlakukan tidak adil, terkungkung oleh aturan yang ditafsirkan secara sempit dan fanatik, sampai termarjinalkan dari berbagai aspek. Di negeri Melajoe, hampir 99% perempuan, baik dewasa maupun anak-anak, masih buta huruf.
Dalam kondisi itu, Roehana kecil muncul sebagai pengecualian. Meski tidak pernah mengenyam pendidikan formal, ia mendapat dukungan dari sang ayah yang berlangganan buku, majalah, dan surat kabar. Ayahnya mengajarkan dasar-dasar abjad, yang kemudian ia kembangkan dengan membaca keras-keras di depan teman-temannya. Roehana sering membacakan buku cerita dengan lantang agar anak-anak lain penasaran dan ikut belajar. Pada usia delapan tahun, ia sudah dikenal sebagai “guru kecil” bagi teman sebayanya. Tentu saja hal ini dianggap ganjil pada masa itu, bahkan kerap mengundang cemoohan karena membaca dan menulis masih tabu bagi anak perempuan.
Lingkungan yang Membentuk
Sejak usia enam tahun, Roehana ikut ayahnya yang bertugas di Alahan Panjang. Di sana, ia bertetangga dengan Lebi Rajo Nan Soetan dan istrinya, Ibu Adiesa. Pasangan ini, yang belum memiliki anak, begitu menyayangi Roehana. Hampir setiap hari Roehana bermain di rumah mereka dan dari situlah ia mendapat banyak pelajaran berharga.
Selama dua tahun, Ibu Adiesa dan suaminya membimbing Roehana membaca dan menulis, sekaligus mengajarkan berbagai keterampilan seperti menjahit dan merajut. Dari tangan mungil Roehana lahirlah karya-karya indah, mulai dari taplak meja, kaus kaki, hingga topi. Semua pengalaman itu memperkaya bekal hidupnya di kemudian hari.
Perjuangan dalam Pendidikan dan Jurnalisme
Roehana kelak dikenal sebagai jurnalis sekaligus wartawati perempuan pertama di Indonesia yang berasal dari Ranah Minang. Namun, jalan perjuangannya penuh ujian. Ibunya meninggal ketika ia berusia 13 tahun, meninggalkan duka mendalam. Meski demikian, semangatnya untuk memajukan perempuan tidak surut.
Ia mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia di Koto Gadang bersama perempuan lainnya. Namun, perjalanan sekolah itu tidak selalu mulus. Roehana pernah difitnah melakukan korupsi dalam pembangunan sekolah, meski pada akhirnya tuduhan itu tidak terbukti. Lebih menyakitkan lagi, sebagian muridnya ikut terhasut oleh orang-orang yang tidak menyukainya dan turut mencemarkan nama baiknya.
Walau begitu, Roehana tetap teguh. Kedekatannya dengan Belanda ia gunakan bukan untuk kepentingan pribadi, melainkan demi memajukan pendidikan dan keterampilan perempuan di kampungnya. Setelah menghadapi fitnah tersebut, ia memutuskan pindah ke Bukittinggi dan mendirikan Roehana School. Sekolah itu berkembang pesat, sementara Amai Setia justru stagnan. Saat itulah masyarakat menyadari betapa pentingnya kehadiran Roehana. Ketika ia kembali ke Koto Gadang, ia disambut dengan hangat, terlebih setelah terbukti tidak bersalah.
Lebih Dahulu dari Kartini
Jika Kartini dikenal memulai perjuangannya pada tahun 1899, Roehana sejatinya telah lebih dulu memulai sejak 1892. Pada usia delapan tahun, ia sudah menjadi guru kecil bagi teman-teman sebayanya. Hal ini menegaskan bahwa perjuangan emansipasi perempuan di Indonesia tidak hanya ditandai oleh satu nama, tetapi juga oleh sosok-sosok lain yang kiprahnya tidak kalah penting.
Pengakuan resmi baru datang kemudian. Pada 8 November 2019, Roehana Koeddoes akhirnya ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia, sebuah penghargaan yang layak bagi perjuangan panjangnya.
Warisan Pemikiran
Roehana pernah berpesan:
“Kemajuan zaman tidak akan pernah membuat kaum perempuan menyamai kaum laki-laki. Perempuan tetap perempuan dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang berubah, perempuan harus mendapat pendidikan dan perlakuan yang lebih baik, tidak untuk ditakut-takuti, dibodoh-bodohi, apalagi dianiaya.”
Pesan itu menjadi warisan berharga bagi perempuan Indonesia. Roehana menunjukkan bahwa meski perempuan dan laki-laki memiliki kodrat berbeda, perempuan tetap berhak memperoleh pendidikan, kesempatan, dan perlakuan yang adil. Semangatnya tetap hidup hingga kini, menginspirasi kita untuk terus melanjutkan perjuangan emansipasi di berbagai bidang.
Referensi: Buku Biografi Roehana Koeddoes (Perempuan Menguak Dunia) – Fitriyanti Dahlia (206 hal)
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.