
IM57+ Institute—organisasi wadah eks pegawai KPK—menyoroti sejumlah ketentuan di Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang berpeluang menghambat pelaksanaan Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK.
Ketua IM57+ Institute, Lakso Anindito, berpandangan bahwa ketentuan penyelidikan hingga penyadapan yang diatur di RKUHAP justru merupakan cara senyap dalam upaya memperlemah kewenangan lembaga antirasuah.
"Ini bisa menjadi silent way dalam upaya memperlemah kewenangan KPK, khususnya pada pelaksanaan operasi tangkap tangan (OTT)," kata Lakso dalam keterangannya, Rabu (23/7).
"Hal tersebut mengingat tindakan penyadapan pada tahap penyelidikan sampai kewenangan penyelidik KPK adalah soal bagaimana OTT dapat dilakukan," jelas dia.

Bahkan, kata Lakso, jika keberadaan pasal di RKUHAP tersebut tidak diubah atau diganti, hal itu akan dapat menghapuskan OTT KPK.
"Apabila tidak ada perubahan berarti, ini adalah langkah nyata untuk menghapuskan OTT," ucap dia.
Menurut dia, upaya pelemahan KPK tersebut bukanlah hal baru. Hal itu sudah dilakukan lewat revisi UU KPK pada 2019 lalu.
"Pada sisi antikorupsi, upaya pelemahan KPK melalui pemotongan kewenangan bukanlah hal baru. Revisi UU KPK pada tahun 2019, sudah memukul mundur jauh pemberantasan korupsi di Indonesia melalui pelemahan KPK," terangnya.
Untuk itu, Lakso pun berharap keberadaan sejumlah pasal di RKUHAP tersebut tidak membuat KPK makin terpuruk.
"Jangan sampai tragedi ini semakin parah dengan adanya free riders yang menjadikan KPK semakin terpuruk," tutur dia.
"Untuk itu, penghentian pembahasan KUHAP bermasalah harus dihentikan dan partisipasi publik secara substantif harus dilakukan untuk mendukung langkah tersebut," imbuhnya.

Kepala Bagian Perancangan Peraturan Biro Hukum KPK, Imam Akbar Wahyu Nuryamto, menyoroti terkait ketentuan penyelidikan yang diatur di RKUHAP.
Imam menyebut bahwa penyelidikan yang selama ini dilakukan KPK adalah untuk memperoleh alat bukti permulaan dalam tindak pidana korupsi. Namun, dalam ketentuan di RKUHAP, definisi penyelidikan hanya untuk mencari dan menemukan peristiwa tindak pidana.
Padahal, di dalam ketentuan UU KPK, penyelidikan KPK telah menemukan bukti permulaan sekurang-kurangnya dua alat bukti. Hal itu sebagaimana tertuang dalam Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) UU KPK.
Jika aturan di RKUHAP itu berbeda dengan UU KPK, lanjut Imam, maka peluang pelaksanaan OTT KPK akan makin kecil.
"Kalau dari tahap penyelidikan atau memperoleh bukti permulaan itu berubah, tidak seperti yang sekarang, maka kemungkinan untuk menjadi tangkap tangan [OTT] itu semakin kecil," ujar Imam di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (22/7).
Menurut Imam, pembatasan kewenangan dalam penyelidikan yang diatur di RKUHAP justru akan menjadi kesulitan tersendiri bagi KPK dalam memperoleh alat bukti permulaan.
"Jadi, sekali lagi, peluang tangkap tangan itu dengan adanya hukum acara yang baru, ini akan memperkecil kalau tidak sinkron dengan hukum acara sebagaimana yang berlaku saat ini. Sekurang-kurangnya itu potensi permasalahannya," pungkasnya.
Sebelumnya, KPK juga sempat mengungkapkan setidaknya ada 17 poin di dalam Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang dinilai bermasalah dan tak sinkron dengan kewenangan KPK di UU KPK.
Juru bicara KPK, Budi Prasetyo, menyebut bahwa poin aturan yang dipermasalahkan itu ditemukan usai pihaknya melakukan diskusi dan kajian di internal lembaga.
Sejumlah poin permasalahan itu di antaranya terkait dengan aturan penyadapan, pembatasan dalam penyelidikan, reduksi kewenangan penyelidik, hingga aturan cegah ke luar negeri hanya untuk tersangka.