
Pemerintah dan DPR meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menolak permohonan uji formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Sidang kali ini beragendakan untuk mendengar keterangan DPR dan Presiden.
Pihak pemerintah dan DPR hadir secara 'full team'. DPR diwakili oleh Ketua Komisi I, Utut Adianto, dan Ketua Baleg, Bob Hasan. Sementara Presiden Prabowo Subianto diwakili oleh Menhan, Sjafrie Sjamsoeddin, dan Menkum, Supratman Andi Agtas. Hadir pula Wakil Menteri Hukum Eddy Hiariej dan Wakil Menteri Pertahanan Marsekal Madya TNI (Purn) Donny Ermawan.
Utut mendapat kesempatan pertama menyampaikan pandangannya. Dia menilai para pemohon gugatan ini tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing). Oleh karenanya, dalam petitum, pihak DPR meminta MK menolak permohonan tersebut.
"(Meminta majelis hakim) Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya atau paling tidak menyatakan permohonan a quo tidak dapat diterima," kata Utut.
"Menyatakan bahwa proses pembentukan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2025 Nomor 35, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 7104) telah sesuai dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan telah memenuhi ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan," sambungnya.

Hal senada juga diungkapkan oleh Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas, yang hadir mewakili Presiden Prabowo Subianto. Dia meminta agar MK juga menolak permohonan uji formil tersebut karena pemohon dinilainya tidak mempunyai kedudukan hukum.
"Menolak permohonan pengujian formil para pemohon untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima," kata Supratman.
Supratman turut meminta majelis hakim agar menyatakan UU TNI telah sesuai dengan UUD 1945 dan memiliki kekuatan hukum mengikat.
"Menyatakan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia tidak bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat," tutur Supratman.
Terdapat lima permohonan dalam uji formil tersebut. Yakni perkara nomor: 45/PUU-XXIII/2025, 56/PUU-XXIII/2025, 69/PUU-XXIII/2025, 75/PUU-XXIII/2025, dan 81/PUU-XXIII/2025.
Perkara Nomor 45 dimohonkan oleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia: Muhammad Alif Ramadhan, Namoradiarta Siaahan, Kelvin Oktariano, M. Nurrobby Fatih, Nicholas Indra Cyrill Kataren, Mohammad Syaddad Sumartadinata, dan R.Yuniar A. Alpandi.
Perkara Nomor 56 dimohonkan oleh tiga orang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yaitu Muhammad Bagir Shadr, Muhammad Fawwaz Farhan Farabi, dan Thariq Qudsi Al Fahd.
Perkara Nomor 69 dimohonkan oleh Moch Rasyid Gumilar, Kartika Eka Pertiwi, Akmal Muhammad Abdullah, Fadhil Wirdiyan Ihsan, dan Riyan Fernando. Mereka merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran.
Perkara Nomor 75 dimohonkan empat mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, yakni Muhammad Imam Maulana, Mariana Sri Rahayu Yohana Silaban, Nathan Radot Zudika Parasian Sidabutar, dan Ursula Lara Pagitta Tarigan.
Perkara Nomor 81 dimohonkan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial), KontraS, serta aktivis Inayah W.D. Rahman, Eva Nurcahyani, dan Fatiah Maulidiyanty.
Ketua MK Suhartoyo menyebut, bahwa ada setidaknya 14 gugatan terkait UU TNI ke MK. Mayoritas penggugat adalah mahasiswa yang mengajukan uji formil atau mempersoalkan proses pembahasan UU yang disahkan pada Kamis (20/3) itu.
Menurut Suhartoyo, kini tersisa lima gugatan UU TNI yang berlanjut pada tahap sidang pleno. Sisanya telah gugur.