
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Bandung mengungkapkan awal mula ditemukan sebuah batu dengan berat 2,5 ton di Gang Cimaung, Kelurahan Tamansari, Kecamatan Bandung Wetan, Kota Bandung. Batu itu diduga sebagai Prasasti Cikapundung
Kadisbudpar Kota Bandung Adi Junjunan Mustafa mengatakan, batu pertama kali ditemukan oleh seorang warga bernama Oong Rusmana pada tahun 1950.
Pada tahun 2000 keluarga dari Oong Rusmana melaporkan kepada peneliti dan dilakukan kajian. Kendati demikian, belum ada kesepakatan antara peneliti. Oleh karena itu, pada tahun 2025 Disbudpar Kota Bandung melakukan pengkajian kembali.
“Namun sayangnya belum pada ada kesepakatan di antara peneliti terkait keaslian objek ini. Oleh karena itu, Pemerintah Kota Bandung melalui Disbudpar pada tahun ini menginisiasi kajian yang salah satu metode pengumpulan datanya menggunakan teknik ekskavasi,” kata Adi saat dikonfirmasi, Selasa (22/7).

Para Peneliti Berbeda Pendapat
Sebelumnya, penelitian batu yang diduga Prasasti Cikapundung ini pernah dilakukan oleh peneliti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Arkenas) Suristinas Titi dan Peneliti BRIN Nandang Suhendra.
Ahli Pertama Pamong Budaya Disbudpar Kota Bandung, Garbi Cipta Perdana, mengatakan dari hasil penelitian, keduanya memiliki pandangan yang berbeda.
“Pak Nandang menyampaikan bahwa objek tersebut merupakan prasasti. Dan tempat itu kemungkinan berasal dari abad, di rentang waktu abad ke-8 sampai ke-14, kalau nggak salah. Hanya saja ya tadi Pak Nandang pun mengakui bahwa ini pembacaan awal,” kata Garbi.
“Sehingga misalkan Pak Nandang, Pak Nandang itu peneliti BRIN menyampaikan bahwa goresan tersebut merupakan aksara Sunda. Aksara Sunda kuno. Dan berisi tentang, misalkan Unggal Jagat Jalma Handap_ (Setiap Manusia di Dunia Akan Mengalami),” imbuh Garbi.

Sementara Suristinas Titi mengatakan, aksara dalam prasasti itu bukan berasal dari peradaban kuno. Melainkan goresan iseng saja.
“Bu Titi yang menyampaikan bahwa goresan-goresan itu memang bisa dibaca tapi tidak ada maknanya. Sehingga Bu Titi menyampaikan bahwa itu bukan prasasti, itu hanya goresan iseng saja,” jelasnya.
Berbekal dua pendapat berbeda itu, Disbudpar Kota Bandung mencoba untuk membuktikan keaslian prasasti dari awal. “Nah soalnya sekarang kami mau mencoba lebih meneliti dari gelas kosong,” kata Garbi.

Memakan Anggaran Rp 100 Juta
Guna membuktikan keaslian prasasti tersebut, Disbudpar Kota Bandung diperkirakan telah menyiapkan anggaran Rp 100 Juta untuk proses ekskavasi.
“Anggaran ekskavasi ini kurang dari Rp 100 juta yang pasti. Jadi ini anggaran minimalis lah. Karena memang anggaran kebudayaan di Kota Bandung masih cukup minim. Tapi kami melihat dia tadi urgensinya. Urgensinya bukan hanya tentang objeknya ya,” ucapnya.