
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump membuka opsi tidak mengenakan tarif impor sebesar 32 persen ke Indonesia. Asalkan, Presiden Prabowo bersedia membangun pabrik di negeri Paman Sam.
Membangun pabrik di AS tentu bukan perkara mudah. Ekonom dari CORE Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menilai realistis atau tidaknya bagi Indonesia untuk membuka pabrik di AS saat ini bergantung pada jenis industri, skala usaha, dan ada atau tidak adanya insentif dari sisi regulasi pasar tujuan.
Ia mengatakan industri yang berbasis padat modal dan menghasilkan produk dengan nilai tambah tinggi lebih mungkin berhasil di pasar AS. Industri tersebut dinilai dapat menutupi biaya tenaga kerja dan regulasi yang tinggi dengan margin keuntungan yang cukup besar.
“Sebaliknya, industri padat karya dengan margin tipis akan menghadapi tantangan berat, kecuali jika masuk melalui skema tertentu, seperti ketentuan minimum konten lokal, preferensi untuk produk ramah lingkungan, atau program insentif industri tertentu yang ditawarkan oleh negara bagian di AS,” ujar Yusuf kepada kumparan, Minggu (13/7).
Yusuf mengungkapkan peluang tersebut mewajibkan pelaku usaha untuk mempertimbangkan berbagai mekanisme non-tarif atau syarat masuk pasar tertentu yang tersedia. “Misalnya, skema Generalized System of Preferences (GSP), sertifikasi khusus seperti USDA Organic, atau peluang melalui kemitraan dengan perusahaan lokal AS untuk mempercepat entry market,” ungkap Yusuf.
Menurutnya, membuka pabrik di AS bisa berdampak ganda terhadap ekonomi domestik. Jika langkah buka pabrik ini merupakan ekspansi kapasitas dan bukan relokasi, maka bisa memperluas jaringan pasar tanpa mengorbankan rantai pasok di Indonesia.
“Bahkan, bisa mendorong peningkatan kualitas bahan baku dan tenaga kerja domestik agar sesuai dengan standar global,” tutur Yusuf.
Namun, jika pembukaan pabrik ini dilakukan dengan memindahkan proses produksi utama dari Indonesia ke luar negeri, Yusuf menilai hal itu berisiko menurunkan daya serap tenaga kerja dalam negeri, memperlemah sektor industri lokal, serta mengganggu rantai pasok.
“Dan jangan lupa pembukaan pabrik (di AS) ini juga tidak terlepas dari upaya negosiasi tarif saat ini. Dalam perkembangan, negosiasi bisa jadi berubah,” terang Yusuf.

Sementara itu, Direktur CELIOS, Nailul Huda, menilai peluang membuka pabrik di AS guna mendapatkan kelonggaran tarif merupakan syarat yang cukup berat.
“Kalau Indonesia melunak dengan memberikan kemudahan impor barang AS hingga membangun pabrik di AS, tarif impor memang bisa diturunkan. Namun, melihat syarat yang cukup berat, saya rasa tarif akan tetap (32 persen),” kata Nailul.
Nailul menyatakan membuka pabrik di AS belum realistis bagi perusahaan dari negara berkembang seperti Indonesia. Ia menjelaskan salah satu pertimbangan utama dalam mendirikan pabrik adalah biaya tenaga kerja. Menurutnya, biaya tersebut di AS sudah tergolong tinggi.
“Yang ada adalah perusahaan negara maju investasi di negara berkembang, bukan kebalikannya,” tutur Nailul.
Sebelumnya, surat yang dikirim Presiden Trump ke Presiden Prabowo bukan hanya berisi keputusan tarif impor 32 persen. Trump mengatakan pengenaan tarif 32 persen untuk Indonesia dinilai tepat untuk mengurangi defisit perdagangan AS ke Tanah Air. Akan tetapi, jika Indonesia mau bebas, Prabowo harus mau membangun pabrik di AS.
"Seperti yang Anda tahu, Indonesia tidak akan dikenakan tarif apa pun asalkan perusahaannya mau membangun atau memproduksi barang di Amerika Serikat. Bahkan, kami akan bantu agar semua izin dan persetujuan bisa diproses dengan cepat dan profesional, hanya dalam hitungan minggu," kata Trump dalam suratnya ke Prabowo yang diunggah di Truth Social, dikutip Minggu (13/7).
Sebaliknya, jika Indonesia melawan dengan menaikkan tarif impor kepada barang-barang AS, Trump akan membalas lagi dengan kembali menambahkan tarif. Aturan ini berlaku mulai 1 Agustus 2025.