
KPK memprotes salah satu norma di dalam RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengatur pencegahan keluar negeri hanya boleh dilakukan untuk tersangka. Menurut KPK, pencegahan keluar negeri juga dibutuhkan untuk saksi dan pihak terkait lainnya.
Anggota Komisi III DPR RI dari NasDem, Rudianto Lallo mengatakan, pembahasan RUU KUHAP belum final. Masih bisa ada pasal-pasal yang diubah.
“Pembahasan saat ini masih di Timus-Timsin. Untuk tim ahli dari pemerintah, Komisi III, untuk kemudian mengoreksi norma-norma, titik koma dan sebagainya. Itu satu hal,” kata Rudianto di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat pada Rabu (16/7).
“Jadi belum final. Timus-Timsin dan setelah bekerja nanti akan melaporkan kembali ke Panja. Panja nanti akan mengoreksi satu pasal, satu pasal, antara pasal yang satu dengan pasal lain. Dari norma ke norma. Akan dibahas satu per satu. Itu satu hal,” tambahnya.

Rudi menyebut, masih terbuka ruang yang sangat luas untuk KPK mendiskusikan terkait pasal ini ke Komisi III DPR RI.
“Apalagi kalau misalkan ada pasal yang menjadi perdebatan publik, saya kira Komisi III sangat-sangat terbuka menerima aspirasi dari pihak mana, apalagi aspirasi itu misalkan datang dari penegak hukum bernama lembaga KPK,” tutur dia.
“Tentu kita tidak mau ada juga norma yang saling bertentangan antara Undang-Undang KPK dengan KUHAP itu sendiri. Pastilah, tidak mungkin ada norma yang bertentangan antara Undang-Undang KPK yang lex spesialis dengan RUU KUHAP yang menjadi panduan beracara dalam hukum pidana kita,” tambahnya.
Rudi menjelaskan mengapa pasal itu dibuat. Menurutnya, seorang saksi belum bisa dilakukan upaya paksa seperti pencegahan keluar negeri. Ia menilai, seorang saksi belum tentu ikut bersalah. Ia mau RUU KUHAP sangat memperhatikan asas praduga tak bersalah.
“Kita tidak mau seorang saksi diperlakukan selayaknya sebagai tersangka atau terdakwa. Begitu sebaliknya, kita tidak mau tersangka terdakwa diperlakukan seolah-olah dia saksi, kan begitu. Jadi kita menempatkan ruang, ruang posisinya kira-kira begitu,” ucapnya.
Sebelumnya, KPK menilai aturan pencegahan ke luar negeri dalam RUU KUHAP berbeda dengan aturan di UU KPK. Dalam UU KPK, lembaga antirasuah diberi kewenangan untuk mencegah seseorang bepergian ke luar negeri, sebagaimana tertuang dalam Pasal 12 ayat (2) huruf a UU KPK.
"Di RKUHAP itu yang bisa dilakukan cekal adalah hanya tersangka. Namun, KPK berpandangan cekal tentunya tidak hanya dibutuhkan bagi tersangka saja, tapi bisa juga terhadap saksi ataupun pihak-pihak terkait lainnya," kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo.
Budi menjelaskan keberadaan pihak terkait di dalam negeri sangat penting dalam proses penyidikan, termasuk pemeriksaan.
"Karena esensi dari cekal itu adalah kebutuhan keberadaan dari yang bersangkutan untuk tetap di dalam negeri. Sehingga, ketika dilakukan proses-proses penyidikan dapat dilakukan lebih efektif," tutur Budi.
"Misalnya, dilakukan pemanggilan untuk pemeriksaan itu bisa segera dilakukan sehingga prosesnya juga bisa menjadi lebih cepat, efektif, dan tentu itu baik untuk semuanya," imbuhnya.
KPK juga menyampaikan sejumlah aturan dalam pasal di RKUHAP yang tak sinkron dan kontradiktif dengan UU KPK. Aturan tersebut di antaranya yakni terkait dengan penyadapan hingga kewenangan penyelidik KPK.