Liputan6.com, Jakarta - Sejarah olahraga Indonesia mencatat sebuah momen emas yang tak terlupakan pada 1988, ketika tiga atlet panahan putri: Nurfitriyana Saiman, Lilies Handayani, dan Kusuma Wardhani, berhasil mengukir prestasi gemilang.
Ketiganya, yang kemudian dikenal sebagai "3 Srikandi", sukses meraih medali perak di ajang Olimpiade Seoul 1988. Pencapaian ini bukan sekadar medali biasa, melainkan tonggak sejarah yang sangat penting bagi Indonesia.
Pasalnya, medali perak yang dipersembahkan oleh 3 Srikandi tersebut merupakan medali pertama yang berhasil diraih Indonesia sepanjang keikutsertaannya di ajang Olimpiade.
Sejak debutnya pada tahun 1952 di Helsinki, Finlandia, Indonesia harus menunggu 36 tahun untuk merasakan manisnya podium Olimpiade. Keberhasilan tersebut didapat setelah mereka mengalahkan tim Amerika Serikat menggunakan sembilan anak panah.
Kisah perjuangan tiga srikandi ini tidak hanya mengharumkan nama bangsa, tetapi juga membangkitkan semangat dan optimisme olahraga jelang diperingatinya Hari Olahraga Nasional 2025 yang jatuh pada 9 September.
Prestasi mereka turut menjadi fondasi yang menginspirasi generasi atlet selanjutnya untuk terus berjuang mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional, termasuk dalam persiapan menuju Olimpiade 2028 mendatang.
Simak profil dan perjalanan ketiga srikandi hingga meraih medali pertama Indonesia di Olimpiade 1988 Soeul pada halaman selanjutnya.
Atlet cabang olahraga panahan Indonesia telah terbang ke Paris untuk berlaga di Olimpiade Paris 2024 pada Minggu malam. Para atlet membidik medali emas dan mencetak sejarah di Paris.
Profil 3 Srikandi Panahan Indonesia
Sebagaimana disampaikan sebelumnya, siga sosok di balik medali perak bersejarah Indonesia di Olimpiade 1988 adalah Nurfitriyana Saiman, Lilies Handayani, dan Kusuma Wardhani.
Nurfitriyana Saiman lahir di Jakarta pada 7 Maret 1962. Dia adalah atlet panahan paling senior di antara ketiganya, dan telah bergabung dengan pelatnas sejak 1980.
Sepanjang perjalanannya sebelum Olimpiade, Nurfitriyana telah mengikuti berbagai ajang, termasuk Pekan Olahraga Nasional (PON) serta kejuaraan Asia Tenggara pada 1983.
Dia kemudian bertemu dengan Kusuma Wardhani, srikandi kelahiran Makassar, 20 Februari 1964. Sebagai informasi, Kusuma Wardhani telah tutup usia pada 12 November 2023 silam dengan meninggalkan warisan inspiratif bagi dunia olahraga Indonesia.
Adapun Nurfitriyana dan Kusuma, setelah dua tahun, dipertemukan dengan Lilies Handayani,atlet yang lahir di Surabaya pada 15 April 1965.
Meski memiliki latar belakang, mereka kemudian dipersatukan dan dipersiapkan untuk berlaga di Olimpiade Seoul 1988.
Perjalanan Berat Menuju Podium Olimpiade
Perjalanan ketiga srikandi menuju Olimpiade 1988 tidaklah mudah. Semula, ada lima atlet yang mengikuti seleksi untuk memperkuat tim panahan putri.
Kelima atlet tersebut ialah Nurfitriyana, Kusuma, dan Lilies, ditambah Fitrizal Iriani, serta Tanti.
Dua bulan menjelang Olimpiade, tiga atlet lantas terpilih untuk melanjutkan persiapan menuju ajang multievent terakbar dunia. Mereka tak lain ialah Nurfitriyana, Lilies, dan Kusuma.
Tangan dingin pelatih Donald Pandiangan turut berkontribusi di balik lahirnya medali Olimpiade pertama Indonesia. Faktanya, sosok yang dikenal sebagai maestro panahan Indonesia itu juga merupakan sosok yang mempertemukan tiga srikandi.
Meski dikenal dengan pembawaan cukup keras, penerapan latihan dengan disiplin tingginya terbukti efektif melahirkan prestasi membanggakan.
Adapun Nurfitriyana, Lilies, dan Kusuma sempat menjalani pelatnas dan karantina di Sukabumi, selain di Jakarta. Langkah itu merupakan bentuk adaptasi cuaca dingin jelang ke Korea Selatan. Di sana, trio srikandi tak bisa kemana-mana dan hanya fokus menjalani latihan.
Detik-Detik Sejarah di Olimpiade 1988
Ketika tiba saatnya mengikuti Olimpiade Seoul 1988, ketiga srikandi sudah dalam keadaan siap berkompetisi di cabang olahraga panahan.
Untuk diketahui, Olimpiade ketika itu digelar mulai 17 September hingga 2 Oktober 1988. Nomor panahan beregu, yang ketika itu diikuti oleh Nurfitriyana, Lilies, dan Kusuma, baru pertama kali dipertandingkan dalam sejarah Olimpiade modern di Seoul.
Mereka bersaing di Lapangan Hwarang yang letaknya di dalam kompleks militer Korea Selatan.
Pada pertandingan yang penuh ketegangan, tepatnya di babak terakhir 70 meter, wakil Indonesia berujung harus mengikuti babak tambahan sebagai penentuan medali perak dengan Amerika Serikat.
Hal itu lantaran tim panahan putri menyamai poin wakil negeri Paman Sam. Momen inilah yang kemudian melahirkan legenda sembilan anak panah.
Nurfitriyana dan kawan-kawan secara mengagumkan berhasil menunjukkan akurasi dan ketepatan dengan mendulang 72 poin saat.
Hasil ini membawa mereka berhak atas medali perak setelah Amerika Serikat cuma mengoleksi 67 poin lantaran satu anak panah yang ditembakkan meleset.