
Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda, mengomentari Perludem yang menyebut keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan Pemilu nasional dan lokal dapat diubah oleh MK sendiri melalui Judicial Review (JR).
Kata dia, kalau memang keputusan itu bisa diubah, maka keputusan itu tidak final and binding. Ia pun mengkritik MK.
“Sepemahaman saya, dalam konteks teori hukum tata negara dan hukum konstitusi, sebagaimana ciri dan karakter putusan Mahkamah konstitusi yang bersifat final and binding, kalau satu putusan kemudian di-JR lagi terhadap putusan lain, itu berarti tidak final and binding,” ujarnya saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat pada Senin (7/7).
“Dan itulah yang sekarang menjadi kritik kami terhadap MK. Satu objek yang sama itu bisa diputus berkali-kali dengan putusan yang berbeda,” tambahnya.

Politikus NasDem itu pun mengingat keputusan-keputusan terdahulu yang pernah dikeluarkan MK, yang kemudian dianulir oleh keputusan MK itu sendiri.
“Komparasi putusan MK No. 55 Tahun 2019 dengan putusan MK No. 135 Tahun 2024 yang sekarang menjadi polemik ini, itu kan satu objek yang sama. Pemohonnya juga sama, Perludem,” ucapnya.
“Dulu ditolak, tapi dalam pertimbangan hukum disebutkan bahwa mahkamah menyarankan ada 6 model keserentakan pemilu, yang kemudian oleh Mahkamah diserahkan kepada pemerintah dan DPR sebagai pembentuk undang-undang, untuk melakukan apa yang mahkamah sebut sebagai open legal policy,” tambahnya.
Ia pun menyebut MK telah menurunkan nilai dirinya sendiri karena sekarang mengambil kerja DPR dan pemerintah sebagai pembentuk undang-undang.
“Tiba-tiba Mahkamah men-downgrade dirinya dari yang harusnya hanya menilai satu norma undang-undang terhadap undang-undang dasar, apakah bersifat konstitusional atau inkonstitusional, menjadi mahkamah yang membentuk norma,” ucapnya.
“Yang kemudian mengambil alih, dalam tanda kutip, tugas konstitusional kami, Presiden dan DPR, untuk membentuk norma,” tambahnya.

Sebelumnya, opsi judicial review sempat disinggung oleh Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini. Menurutnya, koreksi terhadap putusan MK hanya dapat dilakukan oleh MK sendiri melalui mekanisme judicial review atas pasal yang sama di Undang-Undang.
“Kalau kita ingin mengubah putusan MK, ya ajukan kembali judicial review atas pasal yang sama. Karena toh Mahkamah kan project story-nya, dia pernah mengubah pendirian karena argumentasi hukum yang kuat,” kata Titi dalam forum diskusi publik dengan tema proyeksi desain pemilu pasca putusan MK, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jumat (4/7).
“Kalau tidak sepakat, ya silakan ajukan JR lagi. Itulah cara paling konstitusional. Karena kita ini negara hukum,” tambahnya.
Adapun putusan 135/PUU-XXII/2024 mengatur tentang pemisahan Pemilu nasional dan lokal.
Putusan tersebut menyebutkan Pemilu Daerah untuk memilih kepala daerah dan anggota DPRD harus diselenggarakan paling singkat dua tahun dan paling lama dua setengah tahun setelah pelantikan Presiden, DPR, dan DPD hasil Pemilu Nasional.
Keputusan ini menuai polemik. DPR belum mengambil sikap dari keputusan ini. Namun, DPR menilai, menjalankan atau tidak keputusan ini, tetap melanggar konstitusi.