
KEPALA Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana mengingatkan masyarakat akan bahaya judi online (judol). Ia mengatakan frustasi, depresi, hingga akhirnya bunuh diri menjadi masalah yang muncul akibat kecanduan judol.
Ia mengatakan bukan hanya orang dewasa yang kecanduan judol. Alih-alih mempermudah komunikasi, kemajuan teknologi malah menjerat pengguna untuk kecanduan judi online berkedok permainan atau website, atau tergiur dengan promosi bernuansa judol di media sosial.
"Judol berkembang cepat melalui berbagai platform, dari situs web hingga aplikasi yang mudah diakses siapa saja. Kemudahannya menjadi jebakan bagi banyak orang, terutama generasi muda, yang tergoda oleh janji "kemenangan instan"," kata Ivan melalui keterangannya, Rabu (13/8).
Data pada kuartal satu Tahun 2025 yang dikumpulkan oleh PPATK menunjukkan jumlah deposit yang dilakukan oleh pemain berusia 10-16 Tahun lebih dari Rp2,2 miliar. Usia 17-19 tahun mencapai Rp47,9 miliar dan deposit yang tertinggi usia antara 31-40 Tahun mencapai Rp2,5 triliun.
Sekitar 71,6% masyarakat yang melakukan judol berpenghasilan di bawah Rp5 juta dan memiliki pinjaman diluar pinjaman perbankan, koperasi dan kartu kredit.
"Angka-angka yang ada ini bukan sekedar angka, namun dampak sosial dari persoalan besar kecanduan judi online ini adalah konflik rumah tangga, prostitusi, pinjaman online dan lain-lain," katanya.
Ia mengatakan di balik layar, sistem judol dirancang sedemikian rupa untuk membuat pemain kalah. Korban tidak hanya mengalami kerugian materi, tetapi juga terjebak dalam lingkaran kecanduan, stres, bahkan depresi. Tak jarang, kecanduan ini berujung pada tindakan kriminal seperti pencurian, penipuan, hingga bunuh diri.
"Banyak kisah tragis bermula dari "sekadar coba-coba". Bermain judol demi iseng, meminjam online demi kebutuhan mendesak. Namun dalam hitungan minggu, mereka terseret dalam pusaran masalah yang tak mudah diselesaikan," katanya.
Ia mengatakan pemerintah perlu bersikap lebih keras dalam memberantas judol. Pasalnya, judol tidak hanya memicu tindakan kriminal tetapi juga gangguan psikis bagi para pelakunya. Ia menekankan pentingnya sinergi antara lembaga penegak hukum, regulator, sektor keuangan, dan pelaku industri teknologi dalam memerangi TPPU berbasis siber. Ia mengatakan penindakan tidak boleh berhenti pada pelaku lapangan, tapi juga harus menyasar bandar dan pihak-pihak yang terlibat dalam jaringan pencucian uang digital.
“Kita tidak akan membiarkan dampak sosial dari judol ini terjadi. Nyawa yang hilang, konflik rumah tangga, usaha bangkrut, terjerat pinjaman, putus sekolah. Negara memperkuat perlindungan dengan menjaga rekening-rekening nasabah bank agar tidak disalahgunakan oleh pelaku pidana. Rekening 100 % aman dan bisa dipergunakan kembali," kata Ivan. (H-3)