Jakarta (ANTARA) - Polda Metro Jaya menegaskan bahwa penyidik bekerja berdasarkan fakta dan bukti dalam kasus yang diduga melibatkan Direktur Lokataru Delpedro Marhaen.
Hal itu disampaikan Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi merespon pernyataan Tim Advokasi untuk Demokrasi terkait pasal untuk menjerat Direktur Lokataru Delpedro Marhaen dan kawan-kawan yang dinilai dipaksakan.
“Dasar tindakan dari penyidik adalah berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan, berdasarkan barang bukti yang ditemukan dan berdasarkan alat bukti yang didapat. Jadi penyidik bekerja dengan sangat cermat dan hati-hati," katanya di Polda Metro Jaya, Senin.
Ade Ary juga memastikan proses hukum tetap sesuai aturan yang berlaku. "Kami punya SOP, komitmen Polda Metro Jaya akan usut tuntas kasus ini sebagaimana SOP berlaku. Secara secara profesional dan proporsional," kata dia.
Sebelumnya, Tim Advokasi untuk Demokrasi menyoroti proses hukum terhadap Direktur Lokataru Delpedro Marhaen dan kawan-kawan (dkk). Mereka menilai sejumlah pasal yang disangkakan, kurang relevan dan cenderung dipaksakan.
Baca juga: Kantor Lokataru Foundation digeledah polisi terkait kasus anarkis
Hal itu diungkap oleh kuasa hukum Delpedro dkk, Maruf Bajammal. Dia mengatakan, pihaknya mendapati banyak problem dalam penerapan pasal.
Dalam kasus ini, enam orang yang dituding sebagai penghasut dijerat dengan Pasal 160 KUHP tentang penghasutan, Pasal 45A ayat 3 junto Pasal 28 Ayat 3 UU ITE serta Pasal 76H junto Pasal 15 junto Pasal 87 UU tentang Perlindungan Anak.
"Kami menganggap bahwa banyak problematika yang kemudian terjadi dalam proses penegakan hukum kepada Delpedro dan kawan-kawan," kata dia saat konferensi pers di di Gedung YLBHI, Sabtu (6/9).
Dia menerangkan bahwa Pasal 160 KUHP yang mengatur soal penghasutan seharusnya dipahami sebagai delik materiil.
“Artinya harus terjadi sebuah tindakan menghasut. Dan rumusannya itu harus menghasut dalam konteks perbuatan pidana," ujar dia.
Baca juga: Direktur Lokataru ditangkap, diduga hasut anak berbuat anarkis
Begitupun dalam KUHP baru yang berlaku 2026 juga menegaskan soal penghasutan mesti dilakukan di ruang fisik, bukan ruang maya.
"Artinya apa? Artinya harus di muka umum itu seharusnya dimaknai di ruang fisik, bukan kemudian di ruang maya," katanya.
Artinya pasal ini seharusnya tidak bisa digunakan dalam konteks penggabungan antara kerusuhan di ruang maya dan kemudian di ruang fisik. Penerapan pasal perlindungan anak juga dinilai tidak tepat.
"Maksudnya apa? Maksudnya tentunya adalah maksud yang melawan hukum. Pertanyaannya adalah apakah mengajak orang berdemonstrasi itu adalah maksud atau motif yang melawan hukum?," katanya.
Kemudian yang kedua, apakah seseorang yang membuka posko aduan adalah melawan hukum. "Dan yang ketiga, apakah seseorang yang berkolaborasi membuat postingan di Instagram itu adalah maksud yang melawan hukum," tanya dia.
Pewarta: Redemptus Elyonai Risky Syukur
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.