
KANSELIR Jerman, Friedrich Merz, mengumumkan perubahan besar dalam sikap negaranya terhadap Israel dengan menghentikan sementara ekspor peralatan militer yang berpotensi digunakan dalam konflik di Gaza. Keputusan ini diambil di tengah kecaman internasional terhadap rencana Israel untuk mengambil alih kendali atas Gaza.
Pernyataan tegas tersebut disampaikan Merz setelah beberapa pekan terakhir secara terbuka mengkritik kebijakan Israel di Gaza yang dinilai tidak jelas serta memburuknya kondisi kemanusiaan di wilayah tersebut. Meski sebelumnya Jerman tetap menahan diri untuk tidak mengubah kebijakan luar negerinya terhadap Israel, kali ini Merz menegaskan adanya langkah konkret.
“Israel memiliki hak untuk membela diri dari Hamas dan memperjuangkan pembebasan sandera. Itu tetap menjadi prioritas tertinggi kami, di samping negosiasi gencatan senjata yang tegas,” ujar Merz. Namun, ia menambahkan bahwa keputusan terbaru kabinet Israel untuk meningkatkan serangan militer justru “kian memperumit upaya pencapaian tujuan-tujuan tersebut.”
Merz menyatakan pemerintah Jerman tidak akan menyetujui ekspor peralatan militer yang dapat digunakan di Jalur Gaza hingga pemberitahuan lebih lanjut. Ia juga menyampaikan keprihatinan mendalam atas penderitaan warga sipil Gaza, dengan menegaskan “tanggung jawab atas kebutuhan dasar mereka kini semakin besar berada di tangan pemerintah Israel.”
Pascaserangan Hamas pada 7 Oktober 2023, Jerman secara drastis meningkatkan ekspor senjatanya ke Israel. Data parlemen menunjukkan bahwa nilai lisensi ekspor militer dari Jerman ke Israel mencapai €485 juta antara 7 Oktober 2023 hingga 13 Mei 2025.
Pendudukan Gaza
Ketegangan meningkat setelah kabinet keamanan Israel pada Kamis malam menyetujui rencana pendudukan Gaza. Keputusan itu dinilai sebagai eskalasi terbaru dari konflik bersenjata yang telah menewaskan puluhan ribu warga Palestina dan menyebabkan kelaparan di wilayah tersebut.
Keputusan ini menuai kecaman internasional. Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, menyerukan agar Israel meninjau ulang rencananya. “Operasi militer lanjutan di Gaza harus dipertimbangkan kembali. Sandera harus segera dibebaskan, dan bantuan kemanusiaan harus diberi akses tanpa hambatan,” ujarnya di media sosial. “Gencatan senjata dibutuhkan sekarang juga.”
Menteri Luar Negeri Spanyol, José Manuel Albares, menyebut keputusan Israel hanya akan membawa “lebih banyak kehancuran dan penderitaan”. Sementara Perdana Menteri Inggris, Sir Keir Starmer, menyebut langkah tersebut sebagai kesalahan besar dan meminta Israel segera membatalkannya. “Langkah ini tidak akan membantu mengakhiri konflik atau membebaskan para sandera. Ini hanya akan menambah pertumpahan darah,” tegasnya.
Komisaris Tinggi HAM PBB, Volker Türk, mendesak Israel menghentikan rencana tersebut, sementara Turki menyerukan komunitas internasional untuk mencegah implementasinya.
Holocaust
Selama beberapa dekade, Jerman mempertahankan hubungan keamanan yang erat dengan Israel, yang dianggap sebagai bagian dari “Staatsräson” atau identitas nasional Jerman, mengingat sejarah Holocaust. Karena alasan ini, Jerman sebelumnya menolak seruan Uni Eropa untuk menjatuhkan sanksi terhadap Israel, termasuk pembekuan perjanjian dagang istimewa dan partisipasi dalam program riset seperti Horizon dan Erasmus.
Namun, tekanan publik di Jerman kini semakin besar. Survei yang dilakukan lembaga Forsa pada akhir Juli menunjukkan hampir tiga perempat responden mendukung agar pemerintah Jerman meningkatkan tekanan terhadap Israel terkait krisis kemanusiaan di Gaza. Bahkan, dukungan ini juga muncul dari pemilih partai-partai besar seperti CDU/CSU dan SPD.
Menanggapi situasi tersebut, Merz kembali menekankan pentingnya akses penuh bagi pengiriman bantuan kemanusiaan, termasuk dari organisasi PBB dan LSM internasional. Ia juga memperingatkan Israel untuk tidak mengambil langkah lebih lanjut menuju aneksasi Tepi Barat.
Adis Ahmetovic, juru bicara kebijakan luar negeri Fraksi SPD, menyambut baik keputusan Merz, namun menyatakan bahwa penghentian ekspor senjata hanyalah awal. Ia mendorong langkah lanjutan, termasuk kemungkinan pencabutan status dagang istimewa Israel di Uni Eropa. (The Guardian/Z-2)