Di panggung gemerlap industri halal digital, ada satu komoditas yang dijual lebih mahal daripada produk manapun, yaitu ilusi. Ilusi bahwa kredibilitas seorang pemengaruh (influencer) otomatis berarti etika, kualitas dan kebenaran. Seakan-akan jika seseorang populer dan menempelkan label “halal” pada sebuah barang, maka seluruh rantai pemasarannya ikut suci tanpa cela. Namun, bagaimana jika riset membuktikan sebaliknya? Bagaimana jika fatwa ulama sebenarnya sudah memberi peringatan dini tentang jebakan ini sejak lama?
Mari kita tarik ke pangkal persoalan. Majelis Ulama Indonesia melalui Fatwa Nomor 24 Tahun 2017 melarang praktik buzzer yang menyebarkan fitnah, ghibah dan informasi palsu. Bukan karena produknya haram, melainkan karena cara menjualnya menyalahi prinsip syar'iah.
Fatwa ini menegaskaan bahwa halal tidak berhenti di label, melainkan juga mencakup cara promosi. Tetapi ironisnya, di tengah gegap gempita industri halal, justru muncul kesalahpahaman besar, dimana produk halal dianggap otomatis berarti pemasaran halal. Dari sinilah ilusi itu tumbuh dan menjelma menjadi industri baru, yaitu industri penjualan mimpi.
Menembus Kabut Tebal Manipulasi
Di alun-alun digital yang sama, tempat para influencer halal menjajakan inspirasi, berbaris pula legiun-legiun bayangan yang bertugas meracuni sumur-sumur percakapan. Mereka tidak menjual produk, melainkan menabur jelaga kebencian dan ilusi kebenaran demi agenda manipulatif, mengubah setiap kritik menjadi medan pertempuran. Akibatnya, udara di alun-alun itu menjadi sesak dan beracun, membuat publik sulit membedakan mana suara tulus dan mana gema pesanan dari penunggang kegelapan.
Kondisi inilah seperti pernah didokumentasikan secara mendalam oleh Istana dan Majelis Ulama Indonesia, memicu lahirnya fatwa ulama; bukan sekadar sebagai pedoman administratif, melainkan sebagai mercusuar etis yang mencoba menembus kabut tebal manipulasi. Secara tidak adil, para influencer halal yang berniat baik terpaksa menghirup udara yang sama dan meminum dari sumur yang telah tercemar. Inilah mengapa tuntutan untuk menjadi lebih dari sekadar "buzzer"—bahkan "buzzer halal"—menjadi begitu mendesak; ini adalah momentum untuk menegaskan bahwa sumber mata air mereka jernih di tengah polusi yang merajalela.
Penelitian tentang perilaku konsumen memberi kita cermin yang mengejutkan. Riset menunjukkan bahwa kredibilitas seorang influencer tidak cukup untuk membuat orang membeli. Kredibilitas itu hanya berfungsi sebagai jembatan tipis antara strategi pemasaran dan sikap konsumen. Artinya, orang tidak membeli karena percaya penuh pada influencer. Mereka membeli karena narasi yang ditawarkan seolah menyatu dengan identitas yang ingin mereka jalani.
Fenomena ini tampak jelas di industri fesyen muslim. Survei pada konsumen menemukan bahwa mayoritas tidak tergerak oleh seberapa “terpercaya” seorang influencer, melainkan oleh bagaimana produk tersebut diposisikan sebagai bagian dari citra diri. Bagi 78% responden, membeli bukan sekadar soal barang, melainkan soal menguatkan gambaran diri sebagai muslim yang modern, estetis dan beretika. Seorang influencer dengan mudah menjadi kurator gaya hidup, bukan penjual kredibilitas personal.
Logika sederhananya apabila seorang muslimah tidak membeli jilbab hanya karena percaya pada figur publik yang mengenakannya. Ia membeli karena jilbab itu dibingkai sebagai jalan menuju mimpi untuk tampil syar’i sekaligus elegan. Kredibilitas hanyalah tiket masuk, tetapi yang benar-benar menggiring langkah konsumen adalah janji identitas yang dikurasi.
Psikologi perilaku memberi penjelasan mengapa mekanisme ini begitu kuat. Otak manusia ternyata punya cara berbeda dalam memandang mimpi dan kenyataan. Mimpi yang sering diinterpretasikan seperti gambaran hidup islami yang ideal, akan diproses secara abstrak, jauh dan mudah diterima. Sementara kenyataannya seperti kualitas kain, harga atau ukuran produk, itu diproses secara konkret, dekat dan penuh pertimbangan.
Inilah sebabnya orang lebih mudah terpikat pada narasi besar ketimbang detail teknis. Mereka tidak membeli sekadar produk, mereka membeli mimpi. Produk hanyalah jembatan yang menghubungkan mereka dengan versi ideal diri yang mereka dambakan. Sedangkan influencer merupakan arsitek narasi itu, sang kurator kehidupan islami yang dibungkus estetika.
Penelitian psikologi konsumen bahkan menguantifikasi kenyataan ini. Terbukti, strategi pemasaran yang menekankan narasi abstrak seperti menjual mimpi, bukan barang, mampu meningkatkan keputusan pembelian hingga 34% dibandingkan strategi yang hanya mengandalkan reputasi personal influenc...