Liputan6.com, Jakarta Pep Guardiola selalu menjadi sosok yang sulit ditebak. Dua dekade berkarier sebagai pelatih, ia telah membentuk reputasi sebagai arsitek sepak bola modern yang penuh paradoks.
Di satu sisi, filosofi sepak bolanya sudah dibedah melalui berbagai buku dan analisis. Namun, di sisi lain, Guardiola tetap berhasil menjaga misteri, selalu membuat langkah yang mengejutkan.
Keputusannya mendatangkan Erling Haaland sempat diragukan, tetapi striker Norwegia itu justru menghancurkan rekor demi rekor di Premier League. Kini, giliran Gianluigi Donnarumma yang masuk ke proyek Guardiola di Manchester City.
Langkah ini kembali menimbulkan pertanyaan besar: apakah Guardiola sedang mengubah wajah City, dan ke mana arah evolusi tim ini akan berjalan?
Pep Guardiola dan Filosofi yang Sulit Dikotakkan
Guardiola bukanlah pelatih yang mudah ditebak. Ia bahkan menolak istilah "Tiki-Taka" yang melekat pada dirinya sejak era Barcelona, meski gaya itu identik dengan dominasinya.
Keputusannya sering bertolak belakang dengan ekspektasi publik. Ia pernah membangun tim penuh gelandang, namun justru meraih treble bersama empat bek tengah. Ia juga bermain tanpa striker klasik, lalu menghadirkan Haaland yang bertipe predator murni.
Paradoks inilah yang membuat Guardiola selalu relevan. Ia tak pernah terjebak dalam satu pola, dan seolah ingin menunjukkan bahwa sepak bola adalah ruang tanpa batas bagi inovasi.
Erling Haaland: Paradoks yang Berbuah Manis
Saat Manchester City merekrut Haaland, banyak yang skeptis. Striker Norwegia itu dianggap tidak cocok dengan gaya Guardiola yang menuntut penyerang ikut membangun permainan.
Analisis detail soal kelemahan Haaland, mulai dari sentuhan bola hingga keterlibatan dalam build-up, sempat mendominasi perdebatan. Namun City melihat hal yang lebih penting: insting mencetak gol luar biasa.
Hasilnya? Haaland menjadi pemain tercepat yang mencapai 50 gol di Premier League dan langsung meraih Sepatu Emas. Pep Guardiola kembali membuktikan instingnya lebih tajam daripada kalkulasi kritik.
Gianluigi Donnarumma: Haaland Versi Kiper
Kini, Donnarumma hadir dengan label serupa: seorang pemain dengan kekurangan yang terlalu dibesar-besarkan. Kritik soal distribusi bola dengan kakinya kerap jadi sorotan, meski ia adalah salah satu shot stopper terbaik dunia.
Karier Donnarumma sejak remaja sudah luar biasa. Debut di Milan pada usia 16 tahun, juara Euro 2020 bersama Italia, hingga meraih trofi Yashin. Namun, pencapaiannya sering dibayangi kontroversi kontrak dan ekspektasi tinggi.
Guardiola tampaknya melihat hal yang sama seperti pada Haaland. Bahwa talenta utama Donnarumma, yakni menyelamatkan gawang, jauh lebih penting daripada narasi soal kelemahannya.
Ekspektasi Baru di Manchester City
Manchester City selama ini identik dengan kiper yang piawai membangun serangan dari belakang. Dari Claudio Bravo hingga Ederson, peran "outfielder in gloves" menjadi standar baru.
Namun, melihat tren dua juara Liga Champions terakhir, Real Madrid bersama Courtois dan PSG bersama Donnarumma, Pep tampaknya sadar bahwa shot stopper superhuman masih tak tergantikan.
Dengan Donnarumma, City mungkin akan sedikit kehilangan kendali dalam penguasaan bola, tetapi justru lebih siap menghadapi transisi cepat. Sebuah evolusi yang bisa membuat City lebih berbahaya dalam skenario pertandingan berbeda.