
Rencana pemerintah menjadikan kawasan Pegunungan Meratus di Provinsi Kalimantan Selatan menjadi Taman Nasional mendapat penolakan masyarakat adat dan organisasi sipil di wilayah tersebut. Lebih separuh dari 119.779 hektare yang diusulkan menjadi Taman Nasional merupakan wilayah adat suku dayak Meratus di lima kabupaten.
Penolakan ini terungkap dalam Diskusi Publik bertema Taman Nasional Meratus untuk Siapa? yang dihadiri perwakilan masyarakat adat dari seluruh wilayah Kalsel, mahasiswa dan pegiat lingkungan, Rabu (13/8). Penolakan ini tertuang dalam pernyataan bersama yang disebut Deklarasi Meratus.
Deklarasi Meratus Tolak Taman Nasional MeratusKetua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalsel, Rubi, menegaskan masyarakat adat yang tersebar di delapan kabupaten Kalsel menolak penetapan kawasan Meratus menjadi Taman Nasional. "Taman nasional justru akan mengancam keberadaan masyarakat adat yang sudah ada jauh sebelum Indonesia itu sendiri. Sejauh ini masyarakat adat dengan kearifan lokalnya mampu melindungi kawasan hutan dan yang terjadi di banyak lokasi taman nasional, masyarakat adat jadi terusir," tegasnya.
Sebelumnya Pemprov Kalsel melalui Dinas Kehutanan Provinsi mengusulkan Taman Nasional Meratus ke Kementrian Kehutanan RI. Wilayah usulan Taman Nasional Meratus ini seluas 119.779 hektare, berada dalam kawasan Hutan Lindung lima kabupaten meliputi Kabupaten Balangan (10.539 Ha), Banjar (6.911 Ha), Hulu Sungai Selatan (4.961 Ha), Huluu Sungai Tengah (28.389 Ha)
dan Kotabaru (68.979 Ha).
"Usulan Taman Nasioanal Meratus ini sebesar 52,84% berada di wilayah adat. Dengan lebih dari separuh Kawasan konservasi yang diusulkan di wilayah adat, maka secara tidak langsung usulan Taman Nasional Meratus ini adalah proyek perampasan ruang hidup Masyarakat adat di Kalimantan Selatan," Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalsel, Raden Rafiq Wibisono.
Dikatakan Raden, usulan Taman Nasional ini tanpa melibatkan masyarakat adat. Walhi melihat Taman Nasional dapat mengancam atau membuat masyarakat adat terusir, seperti banyak terjadi pada Taman Nasional lainnya. Ada indikasi ekspansi korporasi alasan investasi yang ingin eksploitasi kawasan Meratus.
"Kita tahu pegunungan Meratus sangat kaya sumner daya alam. Ada indikasi Taman Nasional ditunggangi kepentingan untuk menguasai atau eksploitasi SDA Meratus," kata Raden.
Sementara Uli Artha Siagian dari Walhi Nasional mengatakan yang terjadi di Kalsel tidak terlepas dari kepentingan bisnis dan politik yang didalangi penguasa di Jakarta. "Fakta di lapangan, masya adat sudah tersingkirkan melalui penetapan kawasan hutan atau eksploitasi SDA yang dibenarkan lewat peraturan perundangan," ujarnya.
Kawasan Pegunungan Meratus landskapnya saat ini sudah dirusak adanya aktivitas tambang maupun ekspansi perkebunan. Diskusi publik terkait usulan Taman Nasional ini juga menghadirkan narasumber tokoh masyarakat dayak meratus, Anang Suriani dan akademisi Universitas Lambung Mangkurat, Netty Herawaty.
Pada bagian lain, Kepala Dinas Kehutanan Kalsel, Fatimatuzahra mengatakan Taman Nasional Meratus baru berupa usulan ke Kementerian Kehutanan. "Sampai hari ini belum ada respon kelanjutannya. Jika memang ada penolakan masyarakat maka akan menjadi pertimbangan untuk dikeluarkan dari lokasi yang diusulkan," ungkapnya. (H-1)