
Trotoar seharusnya menjadi ruang aman bagi pejalan kaki. Tapi tidak demikian di sisi kiri Jalan Gatot Subroto arah Cawang, Jakarta Selatan, Jumat (18/7).
Tepat di seberang Halte Transjakarta Pancoran, trotoar yang semestinya jadi jalur santai justru berubah menjadi lintasan berbahaya; dipenuhi kerikil bekas galian, licin, dan tak rata.
Jejak proyek masih berserakan. Tak hanya membuat pengguna jalan terpaksa turun ke aspal, tapi juga menyisakan risiko yang nyaris tak terlihat, lubang jebakan di tengah keramaian.
kumparan mencoba menyusuri trotoar itu. Baru melangkah beberapa meter, sudah terlihat material berserakan: batu kerikil, sisa kayu bekas penahan proyek, bahkan potongan seng plang yang ada di selokan.

Tumpukan kerikil itu tidak rata. Lebih buruk lagi, tepat di tengah gundukan, ada bekas galian.
Riki (28), seorang pejalan kaki yang setiap hari melintasi jalur itu untuk bekerja, pernah jadi korban.
“Kalau keserempet aku belum pernah lihat, tapi kalau jatuh aku sendiri pernah. Jadi dua minggu yang lalu kaki aku nih jatuh di sebelah sana,” ucap Riki saat ditemui di lokasi.
“Dekat tangga Pancoran itu, pas lewat tiba-tiba jeblos. Jadi nggak kelihatan ada lubang karena ketutup kerikil dan air,” lanjutnya.

Dia bekerja di sebuah restoran di kawasan Bidakara. Setiap hari Riki naik sepeda dari Cilangkap ke Taman Mini, lalu melanjutkan dengan LRT hingga Stasiun Pancoran.
Sisanya ia tempuh dengan berjalan kaki, menyusuri trotoar yang seharusnya menyambut pejalan seperti dirinya. Namun trotoar justru mengancam langkahnya.
“Kalau trotoarnya jelek emang udah dari dulu, cuma kalau ada galian-galian kayak gini tuh kurang lebihnya satu bulan,” ujar dia.

Bekas galian itu diduga berasal dari proyek penanaman kabel listrik bawah tanah. Namun tak ada papan informasi yang menjelaskan tenggat waktu dari proyek tersebut. Yang tersisa hanya bekas urukan tanah, kerikil, dan potongan kayu yang berserakan di sisi saluran air.
Riki mengeluhkan lambatnya progres proyek, dan lebih-lebih lagi, abainya mitigasi untuk para pejalan kaki.
“Aku ngeliatnya ini proyek jalannya nggak begitu cepat, terus mitigasi sama pejalan kakinya tuh nggak bagus. Maksudnya mereka kalau bikin proyek it’s okay, tapi harusnya juga memprioritaskan pengguna jalan, terutama pejalan kaki,” tutur Riki.
Ia juga menceritakan bagaimana saat hujan turun, sebagian trotoar terendam air lebih dari mata kaki. Pilihannya hanya dua: buka sepatu atau basah kuyup.

“Jadi kita tuh nggak ada pilihan lain selain copot sepatu. Airnya tuh sampai lebih dari mata kaki, jadi ya harus buka sepatu, kalau nggak ya basah-basahan sekalian,” jelasnya.
Lebih bahaya lagi di jam pulang kerja, ketika banyak pengendara motor melawan arah di jalur lambat. Pejalan kaki seperti Riki kerap terjepit di antara proyek yang belum selesai dan laju kendaraan yang menghindari kemacetan.
Menurut Riki, satu hal yang paling bisa langsung diperbaiki adalah komunikasi.

“Kalau ada proyek, mungkin bisa dipampang gede-gede itu proyek berjalannya dari kapan sampai kapan. Jadi kita yang lewat juga ngerti dan lebih waspada,” harapnya.
Trotoar seharusnya jadi jalur aman. Ketika proyek dikerjakan tanpa mitigasi, tanpa rambu, dan tanpa tanggung jawab, pejalan kaki bukan hanya kehilangan ruang aman, tetapi juga keselamatan dari kota yang mestinya melindungi mereka.