Liputan6.com, Jakarta Ketika Andre Onana direkrut Manchester United pada musim panas 2023, banyak yang percaya langkah itu akan menjadi titik balik klub. Kehadirannya dianggap sebagai simbol modernisasi, meninggalkan era panjang David de Gea.
Onana didatangkan bukan hanya karena kualitas penyelamatan, tetapi juga kemampuan membangun serangan dari belakang. Ia diharapkan menjadi pondasi bagi sistem Erik ten Hag, seorang kiper yang bisa sekaligus berperan sebagai playmaker.
Namun, realita di Old Trafford jauh dari ekspektasi. Dua tahun berselang, Onana justru harus meninggalkan United untuk bergabung dengan Trabzonspor. Perjalanan singkatnya mencerminkan rapuhnya hubungan antara kiper dan lingkungan di sekitarnya.
Kisah Onana di United menjadi pengingat bahwa talenta individu tidak selalu cukup jika tidak didukung stabilitas tim. Bagaimana perjalanan lengkapnya hingga berakhir seperti ini?
Onana: Dari Ajax, Inter, Hingga Tantangan di United
Di Ajax, Onana menemukan panggung ideal. Rotasi rapi Ten Hag memberi rasa aman untuk mengambil risiko, sementara pola permainan tim jelas mendukung gaya mainnya. Begitu pula di Inter, di bawah Simone Inzaghi, ia dilindungi oleh pertahanan solid dan rekan-rekan yang nyaman dalam penguasaan bola.
Dalam sistem yang terstruktur, kualitas Onana terlihat nyata. Ia mampu mengubah tekanan menjadi peluang hanya dengan satu umpan, memainkan peran penting dalam perjalanan Ajax ke semifinal Liga Champions 2019 dan Inter ke final edisi 2023.
Namun di Manchester, semua itu hilang. Cedera di lini belakang, lini tengah yang sulit mengendalikan laga, dan pressing lini depan yang tidak konsisten membuat Onana kehilangan ritme. Untuk kiper yang permainannya bertumpu pada kejelasan dan keyakinan, kekacauan ini justru memperlihatkan kelemahannya.
Awal Sulit dan Serangkaian Kesalahan
Sejak awal, perjalanan Onana di United sudah penuh cobaan. Dalam laga debut Premier League melawan Wolverhampton, ia lolos dari hukuman penalti akibat tekel ceroboh. Lalu di Liga Champions, kesalahan fatal menghadapi Bayern Munich membuatnya harus meminta maaf secara terbuka.
Puncak keterpurukannya terjadi di Istanbul saat melawan Galatasaray. Umpan buruk, kesalahan distribusi, dan gol-gol mudah membuat performanya dipertanyakan. Untuk seorang kiper yang direkrut guna meningkatkan level tim, malam itu justru menegaskan kerentanannya.
Meski sempat bangkit dengan serangkaian performa solid di 2024, inkonsistensi kembali menghantuinya. Kesalahan kecil berubah menjadi narasi besar, dan rasa percaya diri suporter pun memudar. Onana tak lagi dianggap solusi, melainkan sumber kecemasan.
Kontroversi, Tekanan, dan Perpisahan
Di luar lapangan, Onana juga tidak lepas dari sorotan. Perselisihannya dengan Nemanja Matic terkait De Gea hanya memperbesar keretakan dengan publik. Bayangan konflik lamanya bersama timnas Kamerun di Piala Dunia 2022 kembali menyeruak, memperkuat citra kiper yang rentan terisolasi.
Tekanan semakin berat setelah kesalahannya melawan Lyon di Liga Europa dan kemudian blunder kontra Grimsby Town di ajang piala domestik. Pada titik itu, kesabaran klub dan fans benar-benar habis.
Kembalinya Onana ke pramusim dengan kondisi cedera dan permintaan kontrak baru justru makin memperburuk suasana. Hubungan dengan pelatih Ruben Amorim pun merenggang. Akhirnya, keputusan melepasnya ke Trabzonspor terasa tak terelakkan lagi.
Penutup: Harapan yang Tidak Pernah Terpenuhi
Onana datang ke United dengan status kiper modern, seorang pengubah permainan. Namun, di Old Trafford, ia lebih sering mencerminkan kekacauan tim daripada memberi ketenangan.
United sejatinya butuh kiper yang bisa jadi penopang stabilitas, bukan yang ikut terombang-ambing oleh kondisi. Senne Lammens kini diberi tugas untuk mengisi peran yang gagal dipenuhi Onana.
Bagi Onana, kisah di United bukan tentang kualitas yang hilang, melainkan soal waktu dan tempat yang salah. Ia tetap kiper hebat di tim yang terorganisir, tapi di Old Trafford, jalan cerita berbeda.