Liputan6.com, Jakarta Kuasa hukum Nikita Mirzani, Fahmi Bachmid, mengumumkan bahwa laporannya terkait dugaan penyadapan ilegal atau intersepsi yang digunakan sebagai bukti dalam kasus kliennya, naik ke tahap penyidikan. Perkembangan ini ditandai dengan terbitnya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang ditujukan kepada Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.
Laporan polisi yang dilayangkan Fahmi Bachmid pada 16 April 2025 lalu secara spesifik menyoroti rekaman yang dijadikan barang bukti utama dalam perkara yang bergulir di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan terdakwa Nikita Mirzani dan Ismail Marzuki. Menurutnya, rekaman itu dibuat oknum tanpa sepengetahuan dan izin Ismail Marzuki, sehingga legalitasnya patut dipertanyakan secara serius.
"Saya menerima surat pemberitahuan dimulai penyidikan atau istilahnya itu SPDP. Di mana di dalam surat tersebut diberitahukan adanya dimulainya penyidikan terhadap dugaan tindak pidana intersepsi. Intersepsi itu artinya melakukan penyadapan tanpa izin," ujar Fahmi Bachmid di kawasan Antasari, Jakarta Selatan, Rabu (6/8/2025).
"SPDP ini terkait adanya rekaman dalam kasus yang saat ini bergulir di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan terdakwa Nikita Mirzani. Jadi, rekaman itu dilakukan oleh oknum yang merekam percakapan Ismail Marzuki, dan itu kami laporkan. Alhamdulillah sudah dilakukan proses penyidikan," akunya.
Dengan Adanya Proses Penyidikan
Dengan naiknya status laporan ke penyidikan, Fahmi Bachmid menilai bahwa semua dokumen atau bukti yang berasal dari rekaman tersebut tidak sah. Karenanya, ia akan mengajukan permohonan di persidangan agar bukti-bukti tersebut dinyatakan tidak memiliki kekuatan pembuktian.
"Dengan adanya proses penyidikan, maka patut diduga dokumen-dokumen yang ada di dalam perkara yang saat ini disidangkan atas terdakwa Nikita Mirzani maupun Ismail Marzuki, patut diduga dokumen yang melanggar hukum. Sehingga saya akan meminta semua bukti tersebut untuk dinyatakan tidak berlaku dan untuk dinyatakan tidak mempunyai kekuatan untuk proses pembuktian," Fahmi Bachmid menyambung.
Undang-Undang ITE Khususnya Pasal 31
Fahmi Bachmid merujuk pada Undang-Undang ITE, khususnya Pasal 31 juncto Pasal 47 yang mengatur larangan intersepsi secara melawan hukum. Ia memaparkan bahwa ancaman pidana bagi pelaku penyadapan ilegal maksima 10 tahun dan denda ratusan juta rupiah.
"Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan atau denda paling banyak Rp800 juta," Fahmi Bachmid memaparkan.
Lebih lanjut, ia menekankan, undang-undang tegas membatasi pihak yang boleh melakukan penyadapan, yaitu hanya aparat penegak hukum atas dasar permintaan resmi. Sementara pihak swasta atau perorangan yang melakukan intersepsi tanpa izin dapat dikategorikan sebagai pelaku tindak pidana.
Yang Boleh Melakukan Intersepsi
"Artinya yang boleh melakukan intersepsi, yang boleh melakukan penyadapan itu dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian dan atau kejaksaan. Siapapun yang melakukan tanpa atas permintaan kepolisian dan kejaksaan, maka itu adalah patut diduga merupakan perbuatan pidana," jelas Fahmi Bachmid.
Ia juga mengapresiasi kinerja Polda Metro Jaya yang bekerja profesional dan tegak lurus dalam menangani laporannya. Fahmi Bachmid dijadwalkan menjalani pemeriksaan untuk memberi keterangan sebagai saksi pelapor dalam waktu dekat.
"Alhamdulillah saya ucapkan banyak terima kasih kepada Direktorat Cyber Polda Metro Jaya yang tegak lurus dalam proses penegakan hukum ini, yang bersamaan juga menangani proses terhadap terdakwa Nikita Mirzani," ucap Fahmi Bachmid.