SEJUMLAH dosen hukum tata negara menilai istilah nonaktif yang digunakan Partai NasDem, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Golkar untuk kader mereka di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hanya akal-akalan untuk menenangkan masyarakat.
Dosen Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Yance Arizona menegaskan tidak ada istilah atau mekanisme non-aktif dalam Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), melainkan hanyalah pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR. “Ungkapan dari pimpinan partai politik bahwa anggotanya di-nonaktifkan hanyalah akal-akalan yang tidak didasarkan perundang-undangan,” kata Yance kepada Tempo, 1 September 2025.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Menurut Yance, apabila partai politik serius meredam demonstrasi dan mendengarkan aspirasi masyarakat, seharusnya mereka mencabut keanggotaan anggota DPR yang dinilai bermasalah. “Lalu mengajukan kepada pimpinan DPR dan Presiden untuk melantik penggantinya,” kata Yance.
Dalam kesempatan terpisah, dosen Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Titi Anggraini mengatakan, langkah partai politik yang menonaktifkan kadernya di DPR hanyalah kebijakan internal, bukan mekanisme hukum yang berdampak langsung pada status keanggotaan parlemen. “Undang-Undang MD3 tidak mengenal istilah nonaktif. Yang ada hanya mekanisme pergantian antar waktu (PAW),” ujar Titi saat dihubungi pada Ahad, 31 Agustus 2025.
Titi menjelaskan, proses PAW diatur dalam Pasal 239 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 juncto Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang MD3. Mekanismenya dimulai dari usulan resmi partai kepada pimpinan DPR, kemudian diteruskan kepada presiden.
Presiden lantas mengeluarkan keputusan presiden untuk memberhentikan anggota DPR yang bersangkutan sekaligus menetapkan penggantinya, yakni calon legislatif dengan suara terbanyak berikutnya di daerah pemilihan yang sama pada Pemilu terakhir.
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah mengatakan, istilah penonaktifan tidak bisa disamakan dengan pemberhentian sementara. Herdiansyah menjelaskan, apabila merujuk pada Undang-Undang MD3 dan Tata Tertib DPR Nomor 1 Tahun 2020, istilah yang sesuai adalah pemberhentian sementara, bukan nonaktif. “Masalahnya, ini tidak lahir dari otoritas partai politik. Jadi, tidak bisa partai tiba-tiba memberhentikan sementara kepada DPR,” ujar Herdiansyah.
Herdiansyah juga curiga alasan NasDem, PAN, dan Golkar menggunakan istilah nonaktif hanya akal-akalan meredam kritik terhadap partai. Sebab, kata Herdiansyah, pemberhentian sementara hanya bisa dilakukan apabila anggota DPR terlibat hukum atau berstatus terdakwa, baik untuk tindak pidana yang ancaman hukumannya 5 tahun ke atas atau pun menjadi terdakwa dalam tindak pidana khusus. “Baru itu bisa dilakukan pemberhentian sementara, bukan penonaktifan,” tuturnya.
Tiga dewan pimpinan pusat partai politik memutuskan menonaktifkan sejumlah kadernya dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat per 1 September 2025. DPP Partai NasDem menonaktifkan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach, kemudian disusul oleh DPP PAN yang menonaktifkan Eko Hendro Purnomo atau Eko Patrio serta Surya Utama atau Uya Kuya.
DPP Partai Golkar juga memberlakukan kebijakan yang sama. Adies Kadir yang menjabat sebagai Wakil Ketua DPR periode 2024-2029 dinonaktifkan oleh partai Ketua Umum Golkae Bahlil Lahadalia.
Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar Sarmuji menilai keputusan menonaktifkan kader partai itu diambil sebagi upaya menguatkan disiplin dan etika bagi legislator dari fraksi Golkar. "Mencermati dinamika masyarakat yang berkembang belakangan ini, kami menegaskan bahwa aspirasi rakyat tetap menjadi acuan utama perjuangan Partai Golkar," kata Sarmuji dalam keterangannya pada Ahad, 31 Agustus 2025.
Lima politikus itu dinonaktifkan setelah sikap mereka memantik gelombang protes di seluruh Indonesia. Ahmad Sahroni, misalnya, yang dikritik masyarakat karena pernyataannya ketika merespons wacana pembubaran DPR dinilai tak pantas. Namun Ahmad Sahroni justru melabeli pihak yang menggaungkan wacana itu sebagai "orang tolol".
Dua politikus PAN, Eko Patrio dan Uya Kuya juga mendapat kritik dari publik. Eko Patrio dikecam usai mengunggah video parodi di akun TikTok-nya @ekopatriosuper yang menampilkan dirinya berjoget musik horeg. Video itu dinilai mengolok-olok masyarakat dan menantang publik yang mengkritik tindakan joget-joget anggota dewan saat sidang tahunan MPR pada 15 Agustus 2025.