
KPK memanggil Gubenur Jatim, Khofifah Indar Parawansa, sebagai saksi kasus dugaan korupsi dana hibah untuk kelompok masyarakat (pokmas) dari APBD Jawa Timur 2019–2022. Namun Khofifah absen dalam pemeriksaan itu.
"Saksi KIP tidak hadir, minta untuk dijadwalkan ulang," kata juru bicara KPK, Budi Prasetyo, kepada wartawan, Jumat (20/6).
Budi menyebut, Khofifah tak hadir karena memiliki kegiatan lainnya.
"Ada keperluan lainnya," ujar Budi.

Dalam perkara ini, KPK sudah memeriksa mantan Ketua DPRD Jatim, Kusnadi. Usai pemeriksaan, Kusnadi menyebut proses pengajuan dana hibah lebih dulu dikoordinasikan dengan kepala daerah. Semua keputusannya tergantung dari kepala daerah tersebut.
"Ya itu kan dibicarakan bersama-sama dengan kepala daerah. Jadi ya kalau dana hibah itu, ya dana hibah itu ya dua-dua dan pelaksananya juga sebenarnya semuanya kepala daerah," ujar Kusnadi usai diperiksa di Gedung Merah Putih KPK, Kamis (19/6).

Kusnadi menyebut, Khofifah sebagai Gubernur Jatim pasti mengetahui proses pencairan dana hibah tersebut.
"Orang dia yang mengeluarkan masa dia enggak tau," ucapnya.
Kasus Dana Hibah
Kasus ini merupakan pengembangan dari perkara mantan Wakil Ketua DPRD Jatim Sahat Tua Simandjuntak. Sahat diduga menerima suap terkait dana hibah untuk kelompok masyarakat. Dana hibah ini dinamai hibah pokok pikiran (pokir).
Terkait dana hibah yang bersumber dari APBD Pemprov Jatim. Dalam tahun anggaran 2020 dan 2021, APBD Pemprov Jatim merealisasikan dana belanja hibah dengan jumlah seluruhnya sekitar Rp 7,8 triliun kepada badan, lembaga, organisasi masyarakat di Jatim.
Praktik suap diduga sudah terjadi untuk dana hibah tahun anggaran 2020 dan 2021. Sahat yang merupakan politikus Golkar dan seorang pihak lain bernama Abdul Hamid diduga kemudian bersepakat untuk praktik tahun anggaran 2022 dan 2023.
Sahat sudah menjalani proses sidang dan divonis 9 tahun penjara. Pengembangan kasusnya saat ini tengah diusut.
Dalam pengembangan itu, KPK menetapkan 21 orang sebagai tersangka, tapi identitasnya belum dibeberkan. Begitu juga konstruksi kasusnya.
Berdasarkan perannya, empat tersangka merupakan penerima suap. Tiga orang di antaranya merupakan penyelenggara negara. Sementara, satu lainnya adalah staf dari penyelenggara negara.
Sementara, 17 tersangka sisanya berperan sebagai pemberi. Sebanyak 15 orang berasal dari pihak swasta dan dua orang lainnya merupakan penyelenggara negara.