
Direktur PT Lotte Chemical Titan Tbk (FPNI), Calvin Wiryapranata, mengungkapkan kondisi industri petrokimia global tengah berada dalam tekanan berat selama beberapa tahun terakhir.
Menurut dia, tantangan yang dihadapi tidak hanya bersifat regional, tetapi menyeluruh secara global akibat lonjakan pasokan dari berbagai pabrik baru.
“Kami direksi dan juga manajemen dan semua karyawan selalu berusaha untuk memaksimalkan performance kami. Tapi memang seperti yang kami uraikan bahwa berapa tahun terakhir ini, bisnis petrokimia ini sangat-sangat buruk. Karena faktor global,” kata Calvin saat konferensi pers usai RUPST di Jakarta, Jumat (20/6).
Calvin menjelaskan kondisi oversupply terjadi akibat pembangunan banyak pabrik petrokimia baru dalam dua tahun terakhir, terutama di China, yang dulunya menjadi konsumen utama produk petrokimia dari luar negeri.
Akibatnya, negara-negara eksportir petrokimia seperti Korea dan Thailand mengalami penurunan ekspor karena produk mereka tidak lagi masuk ke pasar China. Produk-produk tersebut akhirnya masuk ke pasar domestik, termasuk Indonesia.
“Sehingga impor dari negara lain termasuk dari regional ya, dari Korea, dari Thailand menurun. Sehingga terpaksa produk-produk itu dilemparkan ke domestik, ke Indonesia dan akibatnya kalau banyak supply harga akan tertekan,” tambah Calvin.
Sementara itu, di sisi bahan baku, menurut Calvin perusahaan juga harus menghadapi harga minyak dunia yang masih tinggi, yang menjadi komponen utama dalam biaya produksi petrokimia PT Lotte Chemical Titan Tbk.
Kata dia, situasi sulit ini tak hanya dialami oleh FPNI saja, tetapi juga oleh pelaku industri petrokimia lainnya, baik di dalam maupun di luar negeri.
“Dan bukan hanya perseroan kami. Sebenarnya kalau perhatikan juga perseroan jenis-jenis di Indonesia juga sama, petrokimia. Ngalami kerugian juga. Dan bahkan di negara lain mungkin lebih parah lagi. Karena kita domestik masih lumayan,” tuturnya.

Kinerja Keuangan
Sebelumnya, FPNI mencatatkan kinerja keuangan yang negatif sepanjang tahun buku 2024.
Dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) yang digelar di Jakarta, Jumat (20/6), manajemen memaparkan sejumlah tekanan yang menyebabkan perseroan membukukan kerugian signifikan.
Direktur FPNI, Calvin Wiryapranata, mengungkapkan pendapatan bersih perusahaan tahun 2024 tercatat sebesar USD 368 juta atau sekitar Rp 6,033 triliun (kurs Rp 16.396 per Dolar AS), turun 2,2 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Sementara, beban pokok penjualan meningkat 0,6 persen menjadi USD 372 juta atau sekitar Rp 6,095 triliun, membuat laba kotor tahun ini minus USD 4 juta atau Rp 65,6 miliar, dibandingkan tahun lalu yang masih positif USD 6,4 juta.
"(Tahun) 2024 pendapatan bersih 368 juta US. Kalau dibandingkan tahun sebelumnya ada penurunan 2,2 persen," ucap Calvin saat konferensi pers usai RUPST di Jakarta, Jumat (20/6).
FPNI juga mencatat kerugian usaha sebesar USD 14,7 juta atau sekitar Rp 241,0 miliar, melonjak 181 persen dari kerugian tahun 2023 yang sebesar USD 5,2 juta. Kerugian sebelum pajak mencapai USD 11,2 juta atau sekitar Rp 183,6 miliar, meningkat tajam dari USD 1,1 juta pada 2023.