
Dalam rapat bersama Komisi III DPR RI terkait Revisi KUHAP, Kamis (19/6), muncul pandangan dari ahli bahwa penyelidikan tidak perlu diatur dalam KUHAP.
Anggota Komisi III DPR RI Adang Daradjatun, menilai penyelidikan tetap memiliki peran penting dalam proses penegakan hukum. Hanya saja, batas antara penyelidikan dan penyidikan perlu ditegaskan agar tidak tumpang tindih.
“Jadi kalau saya sebagai mantan anggota Polri, ya memang penyelidikan itu masih dirasakan penting. Cuma batasan-batasan tentang penyelidikan dan penyidikan itu yang harus betul-betul ada perbedaan antara penyelidikan dan penyidikan,” kata Adang usai Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan pakar hukum d kompleks DPR RI, Jakarta Pusat, Kamis (19/6).
Ia menegaskan, penyelidikan seharusnya tetap diatur dalam hukum acara, bukan hanya oleh masing-masing institusi. Dengan begitu, siapa pun penegak hukumnya, punya acuan yang sama dalam proses penanganan perkara.
“Tetap harus di acara [KUHAP]. Dengan catatan tadi, esensinya bahwa penyelidikan juga harus jangan terus merambah menjadi suatu penyidikan gitu. Jadi ya harus ada masalah-masalah penyelidikan itu kan lebih bersifat teknis. Sedangkan kalau sudah masuk ke penyidikan itu sudah menyangkut masalah hak asasi orang, orang bukti, dan sebagainya,” lanjut politikus PKS itu.

Usulan ini salah satunya datang dari pakar hukum pidana Prof. Chairul Huda. Ia mengusulkan agar penyelidikan tidak perlu diatur dalam KUHAP karena bersifat teknis dan berbeda-beda tergantung tindak pidananya.
“Usul saya pimpinan, penyelidikan tidak usah diatur di dalam KUHAP. Karena penyelidikan itu kan sifatnya teknis dan masing-masing tindak pidana pasti ada sisi-sisi teknis yang berbeda. Kalau kita atur di dalam KUHAP seperti sekarang, pertama jadi redundant, jadi pengulangan,” ujar Chairul Huda saat rapat dengar pendapat dengan Komisi III.
Menurutnya, pengaturan penyelidikan dalam KUHAP justru membuat proses penegakan hukum menjadi birokratis dan tidak efektif.
“Penyelidik pada waktu penyelidikan ambil dia berita acara keterangan, atau berita acara interogasi atau berita acara wawancara, jadi berkas. Begitu naik ke penyidikan itu diulang lagi, cuma diganti namanya jadi berita acara pemeriksaan saksi. Padahal itu juga yang dibicarakan, nah ini menurut saya kurang efektif,” jelasnya.
Chairul juga menyoroti bagaimana teknis penyelidikan seharusnya tidak dilakukan secara formal seperti pemanggilan saksi, tetapi langsung mendatangi TKP atau pihak-pihak yang diduga terkait.
“Penyelidikan itu secara teknis harusnya penyelidik yang datang ke TKP, penyelidik yang datang kepada saksi-saksi, penyelidik yang datang kepada orang-orang yang dicurigai. Mestinya seperti itu, ada terbuka, ada yang tertutup,” ujarnya.
Ia menambahkan, dalam praktiknya penyelidikan juga telah menjangkau tindakan-tindakan yang mirip dengan upaya paksa.
Selain itu, ia menyoroti praktik lembaga penegak hukum seperti KPK yang kerap menetapkan tersangka berdasarkan hasil penyelidikan, meski secara aturan tidak diperbolehkan.
“Padahal di dalam undang-undang tidak ada itu penyelidikan bisa menetapkan tersangka. Sehingga kerap kali kalah di pra peradilan,” ucapnya.
Atas dasar itu, Chairul mengusulkan agar pengaturan penyelidikan diserahkan ke masing-masing institusi, seperti melalui Peraturan Kepolisian (Perpol), agar lebih fleksibel dan bisa mengikuti perkembangan zaman.