Apa jadinya jika hukum justru menjadi medan perang elite politik? Ketika dua tokoh penting—Tom dan Hasto—dipidana oleh putusan yang kontroversial, Presiden Prabowo memilih jalur tak biasa: abolisi dan amnesti. Tapi benarkah ini demi keadilan, atau sekadar kompromi kekuasaan? Tulisan ini tidak hendak mengintervensi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, namun mencoba membaca kembali konteks sosial-politik dari lahirnya putusan tersebut.
Menjelang 1 agustus kemarin, Presiden Prabowo mengambil sebuah langkah hukum yang cukup dramatis guna meredam gejolak politik nasional pasca putusan hukuman terhadap dua sosok yang memiliki signifikasi dalam konfigurasi politik nasional belakangan ini: Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto. Langkah itu adalah abolisi untuk Tom, dan Amnesti untuk Hasto. Preseden serupa terjadi ketika Soekarno memberi amnesti kepada tokoh PRRI, atau ketika BJ Habibie membebaskan para tahanan politik Orde Baru sebagai bentuk rekonsiliasi.
Jika Tom diberikan abolisi, karena dirinya dianggap oleh Majelis Hakim mengimplementasikan kebijakan yang cenderung kapitalis dalam hal impor gula, sehingga merugikan perekonomian nasional yang dianggap berkiblat pada ekonomi kerakyatan, maka Hasto diberikan amnesti, karena dianggap terlibat dalam kasus suap terhadap mantan komisioner KPU Wahyu Setiawan pada pemilu 2019-2024 yang lalu.
Kedua perkara pidana ini cukup menyita perhatian publik, dan membelah publik dalam dua arus opini yang cukup panas. Pertama, adalah kelompok yang meyakini bahwa kedua tokoh ini tidak bersalah. Baik Tom, maupun Hasto, oleh pendukungnya masing-masing, dianggap tidak memiliki mens rea dalam melakukan kejahatan tersebut. Proses hukum dan putusan hukumnya, dianggap terlalu politis dan didorong oleh operator kekuasaan, bukan motif keadilan.
Sementara kelompok kedua, adalah yang meyakini bahwa keduanya bersalah. Keduanya dianggap jelas-jelas melakukan tindak pidana, baik pada impor gula (Tom) dan suap terhadap KPU (Hasto). Kelompok ini berargumen bahwa, keduanya menggunakan wewenangnya sebagai pejabat (Tom sebagai menteri perdagangan dan Hasto sebagai Sekjen PDIP) untuk memberikan keuntungan terhadap kelompok tertentu, dan pada sisi yang lain, secara gamblang merugikan kepentingan publik.
Perkembangan Politik Nasional yang Makin Destruktif
Jika kita perhatikan baik-baik, perkembangan politik nasional kita belakangan ini semakin memprihatinkan. Politik, oleh oknum tertentu, dijadikan sebagai sarana untuk mendeligitimasi tokoh dan kelompok tertentu, guna mempertegas eksistensi dari dirinya dan kelompok pendukungnya.
Mulai dari isu ijazah palsu Jokowi dan pemakzulan Wapres Gibran yang kemudian merembet pada ditariknya Partai Demokrat dalam pusaran konflik ini, hingga kasus Tom dan Hasto yang semakin membuat politik sekadar sebagai alat menyembelih lawan politik semata, bukan dipandang sebagai instrumen yang bisa dijadikan alat untuk menciptakan perubahan yang mendasar dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara.
Publik tentu heran, di saat konstalasi politik global makin memanas, dengan semakin menguatnya potensi perang dunia ketiga, dengan makin banyaknya titik panas di kawasan, mulai dari perang Rusia dan Ukraina, Israel-Palestina, Israel-Iran, bahkan terbaru konflik panas antara Thailand dan Kamboja, justru elite kita gagal dalam menentukan skala prioritas pekerjaan.
Alih-alih fokus pada diplomasi atau penguatan ekonomi, para elite justru tenggelam dalam wacana dangkal yang tak relevan dengan ancaman nyata di depan mata. Apalagi ketika ruang publik dipenuhi debat simbolik dan fitnah murahan, kita justru makin menjauh dari esensi demokrasi: wacana yang rasional dan bermartabat.
Dalam pandangan Jürgen Habermas, ruang publik adalah arena di mana wacana rasional dibentuk. Tapi jika ruang itu dipenuhi oleh "komunikasi strategis" yang manipulatif dan tidak relevan, maka keadaban demokrasi akan runtuh dari dalam. Sebab demokrasi tanpa rasionalitas hanyalah panggung retorika kosong.
Kita hidup dalam zaman yang penuh krisis nyata: krisis iklim, ketimpangan sosial, kemiskinan struktural, dan ketertinggalan pendidikan. Namun energi diskusi politik, ruang media, dan perhatian elite lebih banyak tercurah ke isu kosmetik dan simbolik yang tidak menyentuh akar persoalan. Bangsa yang terlalu banyak mengomentari hal remeh akan kehabisan energi untuk membicarakan hal-hal yang penting.
Isu tidak relevan seringkali menjadi alat polarisasi elite, karena ia bersifat emosional, mudah disebar, dan tanpa butuh dasar akademik. Polarisasi berdasarkan isu tidak penting hanya menghasilkan konflik permukaan yang menutup konflik substansi seperti ketimpangan ekonomi, kegagalan kebijakan publik, atau lemahnya representasi politik. Ini adalah pengalihan kesadaran rakyat dari musuh yang nyata ke musuh yang direkayasa.